Gilang tidak akan menyangka kalau orang yang datang ke kamar nya ini adalah Grafisa, Grafisa nya. Beruntung Gilang tidak mempunyai riwayat penyakit jantung, kalau iya pasti laki-laki itu sudah terkapar di lantai ketika Grafisa membuka suara nya di belakang tubuh Gilang.
Perempuan itu masih mengenakan seragam putih abu-abu, dengan jaket marun yang melapisi seragam nya. Di tangan perempuan itu juga ada cimin--jajanan anak SD yang ada di sebelah SMA nya. Di mata Gilang, Grafisa terlihat seperti anak SD yang baru pulang sekolah, apalagi cengiran di wajah nya membuat perempuan itu tambah terlihat 'anak kecil'.
"Untung lo pake baju putih abu-abu, kalo ga pasti gue mikir ini anak SD darimana dateng ke kamar gue?" Celetuk Gilang sambil terkekeh kecil.
"Gapapa, berarti gue awet muda." Balas Grafisa tidak mau kalah, tetap sambil mengunyah cimin nya yang berwarna merah itu akibat terlalu banyak bumbu pedas yang membuat Gilang ingin segera memusnahkan makanan itu dari hadapan nya sekarang.
"Liat tuh cimin lo, merah banget. Kalo nanti sakit perut gimana?" Omel Gilang.
"Grafisa terlihat berpikir sebentar, sebelum membuka suara nya. "Ya, yaudah."
"Tidak ada yang berbicara lagi, hanya ada suara ciplakan mulut Grafisa yang sedang mengunyah sesuatu. Sedangkan Gilang masih menatap lurus ke depan, balkon kamar nya selalu menjadi bagian favorit nya dari rumah ini, entah kenapa.
"Eh iya Lang, kok lo tadi ga masuk sekolah sih?" Tanya Grafisa, ketika cimin yang ia beli seharga lima ribu itu sudah habis. Grafisa memang sengaja datang ke rumah Gilang untuk menyanyakan hal ini, jangan di tanya darimana ia mengetahui alamat rumah pacar nya kalau bukan dari Acong.
Gilang yang mengenakan kaos rumahan berwarna abu-abu dan celana jeans selutut berwarna hitam itu kemudian menoleh ke lawan bicara nya. Ragu untuk menceritakan nya semua atau tidak. Yang jelas, Gilang tidak tahu harus apa, dan ia sangat menginginkan pendapat orang di sebelah nya sekarang.
"Lo kenapa? Mata lo kok sayu banget kayak belum tidur semaleman?" Ya, Gilang memang belum memejamkan mata nya untuk tidur. Laki-laki itu hanya memejamkan mata ketika menghela nafas panjang, mengingat-ingat kembali hal yang membuat nya seperti ini.
"Engga, gue tidur."
"Terus kenapa lo ga masuk sekolah?" Ada keheningan beberapa saat sebelum Gilang membuka suara nya.
Laki-laki itu memejamkan mata beberapa detik sebelum bercerita. Ia menceritakan semua nya, dari bagian keluarga nya yang harmonis--dulu, kebakaran yang menewaskan Mama nya dan siapa penyebab itu, ia yang di buang ke Suarabaya, dan saat kembali Gilang malah sering di sanding-sandingkan dengan Ghifari oleh Papa nya sendiri, hingga semalam Ghifari yang menceritakan itu. Semua ia ceritakan, tanpa ada yang terlewat.
"Gue gatau harus ngelakuin apa," kata Gilang.
Grafisa tersenyum, walaupun ia lemot dalam pelajaran, ia tidak akan lemot dalam masalah seperti ini. Tangan perempuan itu kemudian mengambil satu batang rokok yang ada di antara harak mereka, bersama satu korek gas api yang juga ada di sebelah nya.
Ia tahu kalau Gilang phobia api, makanya ia berniat membantu. "Nih."
Dahi Gilang spontan mengerut, serius nih? "Hah? Apaan?"
"Ini rokok, buat lo," unjuk Grafisa, memperlihatkan batang rokok yang sudah ia sundut dengan api tadi.
"Hah? Lo gila?" Tanya Gilang lagi. Kayak nya benar kalau Grafisa itu gila, mana ada si perempuan yang mau melihat nya merokok? Apalagi di depan pacar nya sendiri, Gilang juga tidak mau membuat Grafisa menjadi perokok pasif.
"Ini buat lo, Gilang."
"Ogah, ada lo. Gue gamau buat lo jadi perokok pasif." Tanpa Grafisa sadari, senyuman manis muncul dari wajah nya.
Grafisa akhirnya mematikan rokok tersebut dan membuang nya asal. "Lo tau, barusan lo udah ngikutin kata hati lo sendiri. Di otak, gue tau pasti lo pengen banget ngerokok, tapi hati lo bilang ga baik ngerokok depan cewek."
Ah, tepat sasaran! Gilang memang sangat ingin menghisap tembakau itu sekarang.
"Dan kata hati lo pasti mau maafin papa lo, gue yakin sebenernya hati lo juga gamau terus sandiwara kayak gini, lo gamau hidup lo terus-terusan kayak gini. Tapi, otak lo batu, egois, itu yang buat lo masih bingung sampai sekarang.
"Mana yang lebih baik? Dalam kasus rokok tadi, tentu hati lo yang lebih baik dengan engga ngerokok di depan cewek itu bagus banget, gue salut. Untuk masalah keluarga lo, menurut gue juga lebih baik lo ikutin kata hati lo, apa ga capek terus-terusan diem kayak gini? Apa ga capek harus nahan emosi sendiri? Apa ga capek terus-terusan nganggep keluarga lo itu stranger? Damn, gue jadi lo si pasti ga kuat."
"Lang, gue gatau segimana sakit nya hati lo, tapi lo ga bisa terus-terusan kayak gini. Papa lo mau nikah kan? Itu berarti lo bakalan punya mama baru, keluarga baru. Its a nice thing, right?"
"Gue mau maafin mereka, tapi emang ga awkward kalo tiba-tiba gue nyatu lagi?" Tanya Gilang.
Kekehan kecil akhirnya keluar dari mulut Grafisa. "Gue pikir lo pinter Lang, ternyata engga. Lo bandingin lebih awkward mana dari hidup lo yang kayak batu sekarang?"
Kedatangan Grafisa memang selalu membuat nya membuka mata, selalu membuat nya merasa kalau ia tidak sendiri menghadapi masalah ini--padahal teknis nya Grafisa tidak ada hubungan nya sama sekali. "I can heal you, Lang."
Gilang kemudian tersenyum, memeluk perempuan di samping nya dengan erat. Mulai saat ini ia bersumpah tidak akan membuat gadis nya kecewa, ia tidak akan membuat gadis nya sedih, atau menghadapi masalah nya sendirian. Mulai saat ini, Gilang berjanji tidak akan pernah melepaskan gadis itu. "Janji ya?"
Meskipun Grafisa susah bernafas, tapi perempuan itu tetap tersenyum dan membalas pelukan Gilang dengan mengelus-ngelus hangat pundak laki-laki itu. "Iya gue janji."
"I love you, Ca."
"Love me too, bye." Percayalah kalau jantung nya berdetak entah berapa kali lipat lebih cepat dari biasanya. Percayalah kalau kata-kata tersebut sebenarnya ia balas dalam hati beribu-ribu kali. Ya, katakan lah Grafisa pemalu dalam hal berbau 'cinta' karena nyata nya memang begitu.
***
Sejauh ini, story ini adalah story yang part nya paling banyak yang pernah aku buat. YEAY!!!
Dan, mungkin akan habis lima part lagi atau lebih. Aku sendiri udah nyiapin ending nya gimana, dan gatau kalian bakalan kecewa atau engga tapi aku tetap kekeuh sama ending yang ini huehehe.
Inti nya, makasih buat yang baca walaupun ga vote atau comment karena setidaknya kalian udah nyempetin waktu buat baca story ini, makasih banyak buat yang udah vote, apalagi comment karena itu nambah semangat ku buat nulis hehehe.
Pokok nya, makasih guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...