Sidney pasti sudah gila karena satu tangannya baru saja ia perintahkan untuk mengetuk pintu ruang kerja Newt. Sedang tangan yang satunya lagi memegang segelas susu cokelat hangat. Padahal, Sidney hanya ingin menyerahkan susu tersebut kepada Newt, tetapi rasanya seperti akan dieksekusi mati.
"Masuk!"
Gelas yang berada di genggaman Sidney nyaris terjatuh akibat seruan kuat Newt dari dalam yang berhasil mengagetkannya. Sial! Kenapa ia jadi segugup ini?
Untuk mengurangi kegelisahannya, Sidney menghirup udara banyak-banyak. Setidaknya mengumpulkan oksigen kalau saja di dalam nanti ia tidak dibiarkan bernapas oleh Newt yang ia yakini masih diliputi api kemarahan.
Menginjakkan kakinya di ruang kerja Newt, yang pertama kali menarik perhatian Sidney adalah dekorasi ruangannya yang luar biasa indah. Warna putih mendominasi dengan hitam sebagai tambahan. Kelihatan begitu elegan dan nyaman.
Sidney menggelengkan kepalanya. Bukan waktunya untuk mengagumi ruangan ini.
Kedua kaki kecil Sidney melangkah menghampiri Newt. Khusus untuk hari ini, ia tak menggunakan pakaian berwarna cerah. Syukurlah karena beberapa pakaian miliknya ada yang berwarna gelap. Seperti kaus dan celana pendek yang saat ini tengah dipakainya.
"Ada apa?" tanya Newt, mengalihkan sejenak perhatiannya dari beberapa kertas yang tergeletak di atas meja.
Sidney menelan ludahnya kelu kala pandangannya tanpa sengaja jatuh pada dada bidang Newt yang tampak jelas sebab dua atau tiga kancing kemeja putihnya terbuka. Perutnya pun merasa tergelitik. Dada pria itu tak kalah indah dengan ruangan ini.
Oh, sial! Fokus, Sidney.
"Maaf, aku mengganggumu. Tapi Bibi Olivia berpesan kepadaku untuk membuatkanmu susu hangat," ucap Sidney, terdengar begitu pelan.
Kalau saja Olivia tidak menyuruhnya untuk melakukan hal ini, Sidney tak akan mau menemui Newt. Pria itu seperti macan yang sedang kelaparan sejak pulang tadi. Apalagi penyebab utamanya kalau bukan karena Louisa. Sidney benar-benar takut menjadi santapan si macan yang tengah kelaparan.
"Aku tidak butuh susu. Jauhkan gelas itu dariku." Newt menggerakkan tangannya, menyuruh Sidney untuk pergi dengan segelas susu tersebut.
"Tapi—"
Sidney tidak berani melanjutkan kalimatnya saat mata Newt semakin menghunus tajam ke arahnya. Kalau sedang marah seperti ini, Newt bukan lagi terlihat menyebalkan di mata Sidney, tetapi mengerikan.
"Baiklah. Aku pergi dulu."
Pada akhirnya, Sidney menuruti perintah Newt. Yang penting ia sudah melaksanakan apa yang Olivia suruh meski tidak berhasil.
"Sebagai gantinya, bawakan aku sebotol alkohol."
Sidney membalikkan badannya untuk kembali berhadapan dengan Newt. Ia melihat pria itu sedang sibuk dengan kertas-kertas yang berserak di atas mejanya.
"Maaf, Tuan, tetapi Bibi Olivia tidak memperbolehkanmu minum alkohol dalam keadaan seperti ini."
Newt membanting pulpennya. Mata tajamnya menyorot Sidney dengan kesal. "Kau ini sebenarnya apa, hah? Kau bukan penjagaku. Jadi, ambilkan saja sebotol alkohol untukku."
Setidaknya Sidney sedikit lega sebab Newt sudah berbicara seperti biasa. Kemarahan tampak sudah bertukar tempat dengan kekesalan. Syukurlah, pikir Sidney.
"Baiklah. Tapi sebaiknya aku memberi tahu Bibi Olivia dulu kalau kau ingin minum alkohol," kata Sidney, merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.
Sejujurnya Sidney tak terlalu peduli apa yang akan masuk ke dalam perut Newt. Namun, karena Olivia bilang Newt akan semakin parah bila minum alkohol dalam keadaan marah, maka Sidney pun menuruti apa yang Olivia sarankan. Melihat kemarahan Newt saja mampu membuat bulu kuduknya merinding. Bagaimana bila pria itu semakin menjadi jika minum alkohol. Mungkin seluruh bulu di tubuh Sidney akan rontok. Mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Billionaire's Bride
Любовные романы[TAMAT - CERITA MASIH LENGKAP] Newt Hamilton, seseorang yang digadang-gadang akan mewarisi kekayaan ayahnya yang begitu berlimpah. Akan tetapi, sifatnya yang arogan membuat sang ayah belum mau memberikan semua kekayaan yang telah dirintisnya mulai d...