Kujalani sendiri diresah detik-detik tak bermusik.
Kembali aku mengembara melintasi dusun-dusun... lepau-lepau... dan kisar musim..Kadang matahari terpanggang disepanjang bayang.
Kadang rembulan berkeping diujung ranting.
Aku mencatatnya sebagai langkah yang kalah..
Sketsa peta tak selesai... mungkin derita yang indah.Kemudian kudengar jua suara, disisa gerimis.
Diujung senja yang murung...
Masuklah!
Luka-lukamu telah menyungai sampai ke pintuku.
Akan kubuatkan secangkir teh hangat, sepotong roti atau dongeng-dongeng tua
tentang mesjid dan gereja yang terbakar...Bila cemasmu kering...
Kutemani engkau mencari kampung-kampung yang hilang...
Bolehkah kuusap perihmu?Kuingat seorang perempuan bergaun biru
dimasa lalu... bibirnya ranum apel.
Belah senyumnya serupa ibuku sedang bernyanyi...
Engkau kah itu?
Adakah pintu selalu terbuka untukku?
Alangkah banyak yang akan kukisahkan
dimedan-medan pergolakan, disepanjang hari-hari nyeri tak henti, mungkin kau bisa membungkusnya...
Untuk nostalgia, sejarah!
Atau nama jalan sebelum sampai keruang tamu...Catatlah.
Sebab bila waktu tiba...
Kita akan berangkat pada arah yang berbeda, sebuah kesunyian yang tak pernah kita impikan.Pun selalu...
Lelaki dan perempuan berpadu dalam gelora palsu... menuangkan cinta sementara, sebelum pergi meninggalkan kata - kata.
Bila kaupun harus pergi... akan selalu kau dengar suara-suara.
Karena telah kutulis pertemuan singkat itu disetiap gerimis...
Meski kita tak akan saling menunggu, atau jejak itu sesungguhnya tak tinggalkan bekas.Tapi...
Marilah bernyanyi bila senja jadi murung.
Ceritakan pada kanak-kanak... bahwa di negeri ini pada sebuah musim, ada kedamaian pernah dianjungkan.
Bila kini segala tak ada, barangkali karena orang-orang tak lagi memupuk getar cinta.