Gadis yang tadi nya sedang duduk cantik sambil menonton tv itu kini lari tergesa-gesa menuju kamar nya setelah mendapat telfon beberapa menit yang lalu.
"WOI GILA KALI YA!" Umpat nya sendiri ketika melihat lemari pakaian nya yang tidak menyisakan pakaian 'perempuan' sama sekali. Tidak ada rok selain rok sekolah disana, apalagi dress feminim berwarna imut. Boro-boro!
Grafisa A: gue pake baju apa anjir
Pesan tersebut sudah terkirim, tapi tidak kunjung di balas. Grafisa tidak tahu harus melakukan apa selain berteriak. Entah drum dari band mana yang nyasar ke jantung nya. Perempuan itu sangat gugup.
Gilang Rival: apa aja asal jangan terlalu cantik
Gilang Rival: nanti kalo bokap gue naksir kan bahaya
Grafisa A: KINAP GUE KENAPA TIBA-TIBA BAPAK LO NGAJAK MAKAN MALEM BARENG ASDFGHJKL
Gilang Rival:
Grafisa A:Gilang Rival: buruan bege ganti baju gue udah otw rumah lo nih
Gilang Rival: gausah pake dress segala, gue tau lo ga nyaman
Grafisa A: mati lo! (2)
----
Benar saja apa yang di katakan Gilang tadi. Laki-laki itu sampai setengah jam kemudian, dengan baju tangan panjang berwarna hitam yang ia gulung ke siku, dan jeans dengan warna senada. Laki-laki itu sedang mengobrol dengan Revan di luar, sementara Grafisa sedang di make over oleh Sarah di dalam kamar perempuan itu.
"MAMA AKU GAMAU PAKE BEDAK-BEDAK ITU SEGALA!"
"Ini tuh cuma bedak biasa, Ca."
"ENGGA! AKU MAU NYA PAKE BEDAK BAYI PUNYA AKU AJA, GAMAU YANG ITU!" Grafisa tetep kekeuh kalau bedak yang di pegang Mama nya itu adalah bedak orang dewasa, sedangkan bedak yang ia punya adalah bedak yang cocok sekali untuk nya.
"Ya Allah, punya anak gini amat," keluh Sarah. Karena Grafisa tidak mau di pakai ini-itu, Sarah hanya menjepit setengah rambut anak nya ke belakang.
Wajah Grafisa hanya toh di hias dengan bedak bayi yang ia miliki. Sarah sudah capek sendiri menyuruh anak nya untuk lebih 'perempuan'. Apalagi dengan jeans panjang dan baju lengan panjang berwarna abu-abu yang Grafisa kenakan membuat Sarah ingin melepas pakaian itu dan mengganti nya dengan dress hitam selutut punya nya saat remaja dulu.
"Udah rapih, sana turun. Sang Pangeran sedang menunggu."
"Pangeran kodok dia mah," balas Grafisa cepat, sebelum keluar dari kamar nya.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam, sebelum pergi menghampiri Gilang yang ada di teras rumah nya. Saat kedua nya bertemu, Gilang tersenyum. Grafisa balas tersenyum, tapi tidak ada yang tahu kalau di dalam hati perempuan itu, ia sangat merasa sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nunca
Teen Fiction[SEBAGIAN PART DI PRIVATE] Apakah takdir selalu seperti ini? Menyakitkan? Grafisa tidak mengerti, mengapa semua nya harus sementara, ketika kita mau hal itu untuk selamanya? Tidak, Grafisa sama sekali tidak mengerti. Takdir selalu selucu itu, membua...