Pengakuan

34 2 1
                                    

Oleh: Hayu Kusrin

Sulit bagiku ada dalam keadaan ini, dua tahun silam awal aku mengenalnya. Selama satu tahun terakhir ini dimana aku merasa terluka karena sikap seseorang dan bahagia karena seseorang, namun aku tidak bisa menuntut untuk memintanya lebih mengerti dan memahamiku.

Betapa menyedihkan, ketika kepedulianku dibalas oleh pengabaiannya. Ketika kepercayaanku telah dihancurkan. Ketika rasa cintaku dibalas oleh luka. Andai kata maaf bisa menyembuhkan segala luka batin seseorang, bukankah hidup ini sungguh damai dan menyenangkan?Haruskah aku memaafkan seseorang yang telah menyakitiku?

Terdengar mudah untuk diucapkan, " Maafkan aku lahir dan batin Ra..Aku benar-benar minta maaf jika selama ini telah mempermainkan perasaanmu. Maaf jika ada salah kata maupun perbuatan." Katanya padaku.

Setiap malam aku selalu berusaha untuk memaafkannya. Bahkan sebelum kata maafnya terlontar padaku, jauh dari itu semua aku sudah berusaha untuk memaafkannya. Dalam diam aku terluka. Dalam diam aku masih mencintainya.

Kalimat yang membuat hatiku sesak ketika dia menyatakan perasaanya padaku setahun silam waktu itu, "Love you Ra..".

"Cinta?Benarkah dia mencintaiku? Dia yang aku anggap sebagai sahabat dan teman curhatku sampai detik ini?" gumamku dalam hati. Aku yang saat itu tak mampu lagi menolak kebenaran hatiku bahwa aku memang mencintainya juga. Selama itu, aku memang memilih menjadi sahabatnya dan menyimpan rasaku seorang diri agar aku tetap bisa berada di dekatnya. Bisa bercanda dengannya, dan bisa sharing segala hal dengannya. Namun soal cinta, dia tak pernah cerita padaku. Dia hanya berputar cerita tentang ibunya, keluarganya, dan hal yang menyedihkan tentangnya. Dia juga bisa mengajakku cerita tentang dunia kepenulisan yang sangat aku gemari. Dia sangat mendukungku agar aku tetap menulis. Dia juga mendorongku untuk membuatkannya sebuah tulisan.

Betapa terkejutnya aku ketika dia memintaku menuliskan tentang perasaanku dalam sebuah tulisan. Hatiku layaknya terjadi sebuah gempa bumi. Aku beralibi, bahwa aku sama sekali tak pandai menulis puisi. Namun ia tetap memintaku untuk menuliskannya. Aku dilema, aku takut mengecewakannya jika aku tak memenuhi permintaanya. Apalagi, itu permintaannya ketika dia sedang sekarat. Dia sedang sakit hingga harus menginap di rumah sakit selama dua minggu.

Terbesit sebuah pertanyaan, bagaimana jika aku tidak mau menulis puisi untuknya saat kondisinya memprihatinkan akan menambah kesedihannya? Bagaimana jika ini adalah permintaan terakhir kali semasa hidupnya? Ah! Apakah benar dia akan mati dengan penyakitnya yang serius tersebut?Aku benar-benar merasa sudah gila dibuatnya.

Lantas mengapa dia memintaku menuliskan perasaanku dalam sebuah puisi? Bukankah ini sama dengan aku menyatakan isi perasaanku yang sesungguhnya padanya?Ah! Tidak mungkiin!"teriakku dalam hati.

Aku bergelut dengan perasaan dan logikaku selama seharian penuh. Jantungku berdetak tidak seperti biasanya. Jantungku memacu seperti kecepatan kereta express. Tak kuasa kumenahan gejolak hati. Kuambil pena dan kuketikkan hingga menjadi deretan kata yang mewakili segala isi hatiku. Aku telah menuliskannya dalam sebuah puisi. Jari-jemariku tak kuasa aku hentikan, tetap menari nari dia atas laptop usangku.

Taraaa!! Aku sangat terkejut ketika aku usai menuliskan isi hatiku dalam tulisan. "Enam halaman penuh?" pikirku heran. Apa aku sudah gila? Ini bukan puisi! Ini cerpen! Tapi tata bahasanya adalah puisi. Arghh! Aku harus bagaimana? Aku berharap, dia tak bisa memaknai setiap kata dalam puisiku tersebut

Kuberharap retorika dalam kalimatku tak mampu ia pahami tentang apa isi hatiku yang sebenarnya.

"Apakah ini ditulis dari hati?"tanyanya padaku. "Pastilah! Seorang penulis pasti menulis dari hatinya. Puisi adalah perwakilan dari isi hati penulisnya." Jawabku.

"Terima kasih Ara," katanya sembari menyungging senyum padaku.

"Sama-sama mas Angga.." timpalku padanya.

Aku sangat tercengang ketika aku telah memberikannya dan mengirim puisiku padanya, diakhir percakapan dia mengatakan "Love you Ra.." untuk yang kedua kalinya. Aku sangat gugup. Kusudahi percakapanku dengannya. Mataku yang tak bisa mengatup higga tengah malam. Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia sangat kesakitan hingga memintaku menuliskan sebuah puisi untuk sekedar menghiburnya?Sakit apa dia? Kenapa dia dirawat hingga hitungan minggu?Aku sangat ingin menjenguknya. Aku harus bagaimana?" hatiku yang tengah berkecamuk mengkhawatirkannya. Tuhan.. Lindungilah mas Angga. Aku harap dia selalu baik-baik saja.

~Bersambung~

05/12/16-23-00:24

PENGAKUANWhere stories live. Discover now