Ia bisa merasakannya, angin kini menerbangkan rambut panjangnya. Meniupkan semilir udara ke wajahnya. Hanya untuk menunjukan, meskipun matahari akan beranjak ke atas, kesejukan pagi masih terasa.
Jika kemarin suasana lapangan ramai. Kini tak ada satupun yang berada di lapangan. Seakan-akan kekecewaan atas pertandingan kemarin, masih terasa.
Ia dapat melihat kesunyian lapangan itu dari atas atap. Melihat semua murid yang nampaknya lebih suka duduk di depan kelas. Atau mungkin juga ke kantin, mengingat jam istirahat masih berlangsung.
Namun, saat ia melihat ke sisi kanan bawah – kelas Ziko, tak ada sosok orang itu disana.
Bilha tau keberadaan Ziko. Orang itu kini menemani Bia di rumah sakit.
"Gue bisa jadi temen curhat elo." ucap Lora yang sedari tadi hanya duduk, kini berdiri disamping Bilha.
Bilha menggeleng, "gak ada yang harus gue bicarain."
"Ada. Tentang Bia dan Dea."
Spontan, Bilha langsung melotokan matanya. Dan tubuhnya menghadap Lora seutuhnya.
"Gue tau Dea mengancam Bia. Bahkan kemarin, gue juga lihat, Dea mengunci Bia di toilet." Lanjut Lora lagi.
"Lo tau, sejak kita berkumpul di cafe rooftop itu, gue lihat Dea ngirim pesan ancaman ke Bia. Bahkan saat kita makan di kantin, Dea fokus sama hapenya. Gue tau, Bil. Bahkan saat kalian bertiga ke perpustakaan untuk membahas semua itu.
Sejenah, Lora menjelaskan semuanya pada Bilha. Dimulai saat mereka berkumpul di cafe. Sejak saat itu...
"Yang lain belum datang." Tanya Lora saat ia melihat Dea sendirian duduk sambil memainkan ponselnya.
Dea hanya mengangkat kedua bahunya acuh. Pandangannya masih menatap ponselnya. Hingga membuat rasa penasaran Lora. Tanpa sengaja, ia melihat pesan yang dikirimkan Dea untuk Bia. Ia memang gak jelas membaca semua pesannya. Hanya saja Lora melihat berisi ancaman untuk Bilha dan Bia harus menolongnya.
Hingga akhirnya Bilha datang membuat Lora menjadi cemas.
"Sori ya, gue telat. Tadi macet."
"Gak apa-apa kok, Bil. Lagian Sisil juga telat." Sahut Dea yang langsung meletakkan ponselnya di meja.
"Belum pesan makanan."
"Ntar, nunggu Sisil aja sekalian. Iya kan, Ra?" Dea menegur Lora dan langsung mengangguk cepat.
"Sori-sori gue telat. Gue ada sedikit masalah dijalan." Ucap Sisil yang nampak tergesa-gesa lalu duduk di hadapan Dea.
Saat itu tak ada yang tau, ada rahasia diantara mereka. Hanya Lora yang tak dapat menghentikan kecemasannya. Tertawa hanya untuk menutupi kecurigaannya, makan dan membahas masalah keremajaan hingga waktu memisahkan mereka.
"Gue duluan ya, ada urusan soalnya." Pamit Sisil duluan dan ketiganya mengangguk.
Lora masih diam dibangkunya. Ia masih menunggu aksi Dea. Ia benar-benar cemas Bilha akan celaka.
Dan benar, saat akhirnya mereka semua keluar dari cafe dan berpisah. Lora masih mengikuti jejak Dea. Bahkan saat Dea mulai memainkan ponselnya lagi. Juga saat Dea berdiri tak jauh dari Bilha yang berada di pinggir jalan. Hingga menolong Bilha yang hampir celaka. Saat Bia tak mampu menolongnya.
Semua itu masih terekam jelas di kepalanya.
"Saat itu, gue curiga, Dea bakalan melakukan sesuatu." Lora selesai menceritakan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Feeling
Teen FictionTentang rasa yang terikat pada takdir. *** By vebia Highest rank #26 melupakan Highest rank #7 musibah