3. Women need chocolate, it's scientific fact

25 2 2
                                    

Hidup itu seperti sekotak coklat, kita tidak tahu apa yang akan kita dapatkan.

Sejak peristiwa coklat rekayasa pak Mamad, sikap mbak Lena jadi lebih lunak padaku. Masih kaku sih, tapi setidaknya juteknya berkurang banyak.

Aku berharap dia tidak mengartikan coklat itu seperti di novel teenlit.
Ide pak Mamad memang luar biasa. Sungguh saya merasa hutang budi pada pak Mamad.

Dan aku masih tetap sama: menjaga jarak. Stay away from trouble. Cari aman aja. Dan semua masih berjalan seperti biasa.

Sampai sabtu sore itu, saat gowes sendirian aku melihat mbak Lena menuntun sepeda motornya. Langsung saja aku berhenti dan menyapanya.

"Motornya kenapa mbak?"

"Eh kamu Ian. Ini bannya kempes. Mungkin bocor," jawabnya menunjuk ke ban depannya.

Wih, bener juga. Ban depannya kempes tidak ada anginnya. Kasihan.

"Mbak, biar aku aja yg tuntun motornya. Mbak bawa sepedaku." Kataku menawarkan bantuan.

Tapi mbak Lena menggeleng," Tidak usah Dik. Tidak apa-apa"

"Tambal ban masih jauh lho, dan jalan depan situ agak menanjak,"

Tanpa basa-basi lagi aku turun dari sepeda dan menyandarkannya di pohon terdekat. Dan aku pun mengambil alih motor mbak Lena.

"Em ... Dik, sepedanya aku tuntun aja ya?" Tanya mbak Lena ragu. Kok ga dinaikin aja ya? Curiga dia ga bisa naik sepeda? Atau sungkan karena aku jalan menuntun motornya?

"Sembarang Mbak aja"

Dan kami pun berjalan beriringan. Lebih dari seratus meter baru sampai ke tambal ban.

"Bannya kenapa mas?" Tanya Tukang tambal ban berbasa-basi.

"Kayaknya bocor pak. Tolong di tambal pak," jawabku.

"Ban belakangnya periksa juga pak. Cepat kempes. Mungkin bocor halus," kata mbak Lena pula.

Nah loh, 2 ban. Pasti lama itu ....

"Kamu tinggal saja, lanjutkan gowesnya" kata mbak Lena.

"Beneran nih? Tidak perlu ditemani?"

"Tidak usah," jawabnya meyakinkan.

"Ok deh,"kataku sambil mengambil alih sepedaku darinya. Dan aku pun pamit bersepeda lagi. Seolah keputusan utnuk stay away masih berpengaruh

Belum ada dua puluh meter, entah kenapa aku ingin menoleh lagi ke mbak Lena. Ternyata mbak Lena melihat ke arahku, tapi buru-buru melihat ke arah lain saat tau aku melihatnya.

Ah dasar cewek. Ngomongnya A maunya B, bahkan Z. Aku menghentikan sepedaku. Mampir bentar di warung di dekat ku berhenti. Beli 2 batang ice cream chocolate. Lalu kembali ke tempat mbak Lena.

"Ini nah mbak, ice cream coklat"

Mbak Lena tampak bingung namun senang,"kamu tahu betul kesukaan ku"

Aku menyerahkan sebatang coklat ke padanya. Dia menerimanya sambil tersenyum. Matanya berbinar. Cantik sekali. Ehm ...

"Aku tahu mbak Lena suka coklat, karena sembilan dari sepuluh wanita suka coklat. Nah wanita yang ke sepuluh itu bohong," kataku.

Dia tertawa,"Ada-ada aja kamu"

Mbak Lena menggeser posisi duduknya di kursi panjang, agar aku bisa duduk di sampingnya. Lalu kami menikmati ice cream coklat masing-masing.

"Kamu dulu kuliah di mana Ian?" Mbak Lena membuka percakapan.

"Brawijaya Mbak, di Malang," jawabku.

"Wow, kampus bagus itu, pantas saja kamu pintar" kata mbak Lena.

"Kampusnya memang bagus mbak, tapi akunya tidak," jawabku malu. Ya malu karena aku mantan mahasiswa abadi di situ yang nyaris kena DO karena hampir kehabisan masa kuliah.

"Ya tidak mungkin, aku yakin hanya anak yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata yang bisa masuk situ, dan kamu salah satu diantara mereka" kata mbak Lena.

Dan lagi-lagi aku merasa malu. Teringat preatasi akademikku yang mengharukan. Ada 3 teman seangkatan yang lulus dengan predikat "cum loud" Sedangkan aku lulus dengan predikat "syukurlah bisa lulus" predikat yang tidak ada dalam grade kelulusan.

"Mbak dulu kuliah di mana?" Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan ke padanya.

"Aku di Mulawarman," katanya," sebenarnya aku pingin kuliah di Brawijaya, tapi Papa menyuruhku kuliah di Samarinda saja. Biar dekat katanya."

"Kok pingin kuliah di Brawijaya?"

"Aku dulu lahir dan dibesarkan di Malang. Waktu aku lulus SMA, papaku mutasi ke Balikpapan. Aku harus ikut, karena Papa ingin menetap kembali di tanah kelahirannya ini, Balikpapan. Dan aku pun disuruh kuliah di Samarinda, agar tiap weekend bisa pulang."

"Ya Allah, serius mbak?"

"Serius!"

"Ternyata mbak Arema juga ya. Kalau mbak ga boleh tinggal di Malang buat kuliah di Brawijaya, pasti papanya mbak sayang banget ya sama mbak,"kataku.

"Pasti. Dan lebih dari itu, rupanya papa punya firasat lain. Di tahun ke 3 kuliahku, Papa meninggal dunia di sini," kata-katanya terdengar lirih.

"Maaf," kataku menyesal. Kenapa aku malah ngomong soal disayang papa ya? Kenapa ga nanya dulu di Malang tinggal di mana? Atau topik lain tentang Malang gitu, ah sial.

"Maaf untuk apa?" Banyak mbak Lena.

"Ya Kita semua tau lah rasanya teringat kesedihan kehilangan Ayah,"jawabku. "Aku juga mengalaminya saat aku baru naik kelas 2 SMP. Dan setelah itu hidup tidak semudah dulu lagi. Untungnya ayah ku pegawai negeri, dan ibu ku juga bekerja, jadi selain dapat pensiun janda juga masih ada gaji."

"Nah, papa ku pegawai swasta, tidak ada uang pensiun bulanan. Ibuku juga hanya ibu rumah tangga biasa. Dan selain aku, masih ada adik laki-laki ku,"kata mbak Lena. "Kami hanya hidup dari sisa tabungan dan uang asuransi jiwa milik ayah."

"Untunglah aku bisa mempercepat masa studiku, dan direkrut kerja disini oleh pak Anwar. Beliau sahabat papaku waktu masih sekolah di Balikpapan."

"Mbak dulu kuliah jurusan apa?" Lagi-lagi aku merasa harus mengganti topik pembicaraan. Biar tidak terbawa kenangan sedih.

"Administrasi Niaga. Kamu jurusan apa?"

"Teknologi Industri Pertanian," jawabku.

"Apa?" Tanya mbak Lena kaget.

"Iya, Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. Memangnya kenapa mbak?"

"Dan sekarang kerja bagian design kreatif di perusahaan properti?"

"Dan sebelumnya bekerja di perusahaan financial sebagai financial analyst,"kataku menambahkan. Dan mbak Lena tertawa.

"Tidak salah nih?"

Bosen juga sih ditanya seperti itu. Sudah berulang kali. Aku berharap Tukang tambal ban sudah menyelesaikan pekerjaannya. Tapi sepertinya roda depan pun belum beres. Aku pun menjawabnya dengan menyadur kata-kata dalam sebuah film,"Kata mama, hidup itu seperti sekotak coklat. Kita tidak tahu apa yang akan kita dapat."

"Forest Gum ya?" Kata mbak Lena menebak.

"Betul"

Mbak Lena diam. Cukup lama, lalu berbicara lagi,"Ian hati-hati ya. Kamu masih baru berapa bulan di kantor ini, tapi kamu sudah dapat begitu banyak kepercayaan dari pak Anwar. Pasti ada saja yang iri."

"Maksud Mbak?"

"Nanti kamu juga paham, tapi jangan kelamaan ya pahamnya. Biar tidak terlambat."

Jujur aku tidak mengerti apa maksudnya. Dan ternyata aku terlambat untuk memahaminya.

Gakuran StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang