Kehidupan sebelum Hijrah

86 8 0
                                    

       Pagi itu tepatnya pukul 06:30 WIB, seperti biasanya aku terburu-buru berangkat sekolah yang jaraknya sekiatar 3 km dari rumahku. Ya ini hari Senin, sudah sepatutnya aku berangkat lebih awal dari hari-hari biasa. Aku berangkat dengan mengeluarkan sepeda kayuh kesayanganku yang berwarna biru dan tak lupa untuk mengecup tangan Ibuku seraya mengucapkan salam.
       "Ara berangkat sekolah ya Bu, Assalamu'alaikum." kataku sambil terburu-buru.
       Ah iya, perkenalkan namaku Arafah Airiya, yah sering dipanggil Ara.
Aku kelas IX SMP ya masa-masa yang cukup merinding untuk persiapan menghadapi UN, tepatnya aku bersekolah di salah satu SMP terfaforit di kotaku, SMP N 2 Tuban Jawa Timur. Aku merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara dan aku merupakan anak perempuan satu-satunya. Meskipun begitu aku tidak pernah dimanja oleh kedua orang tuaku, karena masih ada si bungsu yang harus aku jaga dan beri contoh.
       "Wa'alaikumussalam, hati-hati ya nak!" jawab Ibuku.
       Aku langsung ngeloyor dengan sepedaku itu, karena tak mau terlambat aku pun mempercepat mengayuh sepedaku. Setiap berangkat dan pulang sekolah aku selalu bersama sepupuku yang sekaligus sahabatku dari kecil yang apabila ku tanya padanya sejak kapan kita mulai bersahabat, dia selalu meringis dan mengatakan mungkin sejak dalam rahim. Aku tertawa mendengarnya, ah panggil dia Erin.
       Tibalah aku dan Erin di sekolah, yah lumayan lah waktu yang ditempuh untuk ke sekolah, mungkin kurang lebih 20 menit.
       "Rin, ayo kita lari sebentar lagi bel berbunyi!" Pintaku.
       "Oke," sahut Erin sambil berlari.
       Upacara pun akhirnya selesai dan ku lihat di samping tiang bendera tak ada satupun siswa yang berdiri.
       "Hebat ya, hari ini nggak ada yang terlambat. Biasanya kan ramai berderet  anak-anak berdiri disamping bendera." Kataku pada teman-teman.
       "Iya lah, kan guru yang piket is killer teach, hahaha." Tawa Riani
       Jadi sekolahku ini adalah sekolah umum dan juga tak mewajibkan bagi siswa yang beragama Islam untuk berjilbab. Aku pun memakai seragam yang tak berjilbab, dengan baju lengan pendek dan rok biru tua panjangnya hanya sampai tepat di bawah lutut. Aku selalu mengikat rambutku, karena bisa dibilang aku ini anak yang lumayan tomboi, suka naik pohon, main sama anak laki-laki, ah pokoknya aku ini bukan tipe yang feminim. Berbanding terbalik sekali dengan sahabat rahimku itu.
       Kau tau apa hobiku? Hobiku adalah bermain sepak bola dan menonton bola, tim sepak bola andalanku yakni AC Milan, yap disitu ada Ibrahim Movic pemain bola andalanku. Mungkin aku terpengaruh karana memiliki saudara laki-laki semua. Yang jelas aku selalu dikelilingi laki-laki. Yap berhubung aku lumayan tomboy itu aku selalu keluar rumah dengan celana pendek selutut, dan baju lengan pendek. Ya begitulah kira-kira kehidupanku sebelum akhirnya aku memilih untuk berhijrah.
       Tak lama pun tiba waktu ujian sekolah, mata pelajaran yang paling aku suka itu adalah matematika. Saat tiba jadwalnya untuk ujian mata pelajaran Matematika, aku pun menghadapinya dengan santai tapi serius. Di waktu mengerjakan soal hampir selesai, aku juga kurang satu lagi soal, maka semua soalnya dapat terjawab dan aku yakin jawabanku benar semua. Tapi ternyata satu soal yang belum terjawab itu tak dapat ku jawab, aku merasa kecewa akan itu. Tanpa pikir panjang aku mencoba mencari teman sebelahku.
       "Pssst, psst," kataku lirih.
       "Minta rumus no. 38 dong!"
Temanku yang mendengar itu, langsung menyobek secarik kertas dan menuliskan rumus diatasnya serta pertanyaan juga untukku. Sejenis simbiosis mutualisme.
       Akhirnya aku dapat menyelesaikan semua soal matematika itu. Tapi entah mengapa aku tak merasa puas atas apa yang aku kerjakan, karena begini-bigini aku merupakan tergolong anak paling jujur diantara temen-temanku.
       Akhirnya pengumuman untuk hasil ujian matematika pun sudah dibocorkan oleh guru mata pelajaran matematika, panggil saja pak Atad.
       "Di kelas ini ada 3 orang yang mendapatkan nilai 100." ujarnya.
        Jantungku mulai berdegub kencang, aku ragu apakah aku salah satunya yang mendapatkan nilai 100 dari ketiga orang itu. Jika iya aku tak tau harus bahagia atau sedih.
        "Yang mendapat nilai sempurna: Anandita Damayanti, Arafah Airiya, dan Grizzelo Saputra." kata pak Atad sambil melebarkan bibirnya ke samping dan ke kiri.
         Ah namaku disebut, aku salah satu dari ketiga orang itu, tapi kenapa aku merasa bersalah setelah melihat senyuman bapak Atad karena merasa bangga pada kami. Tapi ternyata tak sempai di situ kata yang ingin disampaikan pak Atad.
         "Untuk ketiga orang yang mendapat nilai seratus, agar mengahadap ke ruang bapak ketika istirahat nanti secara mandiri." Pinta Pak Atad.
         "Siap Pak." kata Grizzelo semangat.
         Dan tibalah giliranku untuk menghadap ke bapak Atad.
          "Assalamu'alaikum pak." ku ucapkan salam ketika sampai di depan ruang pak Atad
         "Wa'alaikumussalam warahmatullah, masuk nak!"
         "Duduk sini!" lanjut pak Atad masih dengan senyumnya.
Aku pun berjalan ke tempat duduk yang ditunjuk Pak Atad yang letaknya tepat berhadapan dengan beliau, dengan batasan meja berukuran lebar sekitar 1 meter itu.
         "Ara ya?" tanya pak Atad.
         "Ah, i, iya pak, Ara" jawabku agak gagap.
         "Hebat, kau memang berpotensi dibidang matematika, bapak sudah memperhatikanmu sejak kamu mulai bapak tunjuk maju untuk mengerjakan soal di depan kelas. Bapak menyadari bahwa potensimu itu memang di bidang matematika." jelas pak Atad.
         "Ah, apakah iya pak?"
         "Tentu saja." jawab pak Atad singkat.
         "Ada satu yang ingin bapak tanyakan ke kamu Ra."
         "Iya pak, silahkan"
         "Tapi kamu haris jawab dengan jujur ya ra, nggak pap kok dengan bapak santai aja." kata bapak sambil tersenyum.
         "Iya Pak." jawabku singkat.
         "Nak, apakah kamu menjawab soal ujian dengan jujur?"
          Tatkala jantungku langsung memompa degan sangat cepat, yang membuat tanganku muali gemetar.
          "Ti, ti, tidak pak, s, s, saya tidak jujur pak." jawabku gemetar sambil merasa lega setelah mengatakanya.
          "Berapa soal yang tidak kamu kerjakan sendiri?"
          "Satu soal pak, satu soal yang tidak dapat saya kerjakan itu saya kerjakan dengan meminta rumus kepada teman pak, karena saya lupa rumusnya." kata gagapku hilang.
          "Kamu merasa bersalah tidak, atas tindakan yang kau lakukan itu?"
          "Iya pak, saya merasa sangat bersalah"
          "Bagus, kalau begitu kamu nggak keberatan kan jika nilai kamu bapak kurangi?"
           "Iya pak, nggak papa, malahan saya senang pak." jawabku dengan cepat.
           "Ah baiklah, sekarang kembali ke kelas!"
           "Siap pak." Aku pun berjalan dengan hati merasa lega.
           Kesokan harinya pun pengumuman sebenarnya di tempel di mading sekolah dan alhasil nilaiku  diturunkan 0,1 , yakni nilaiku 99,9.
Wah aku tak menyangka pak Atad cuma menurunkan nilai 0,1. Padahal aku mengira nilaiku akan distandarkan. Ini semua pasti sebab kejujuranku. Allah memberikan rasa kebahagiaan ini setelah adanya rasa menderita. Jika tak ada penderitaan maka kebahagiaan pun tak akan ada. Karena kebahagiaa cuma bisa dirasakan ketika kita telah mengalami penderitaan. Jadi, apakah kamu bahagia? Jawabannya "tentu", selama masih ada yang namanya penderitaan di dunia ini.

Apa Kau Bahagia?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang