*Chandra*
Sepintas, lingkungan rumahku ini tampak seperti kompleks perumahan yang penghuninya enggan mau tau satu sama lain. Hanya sebagian kecil saja dari bangunan rumah tetangga yang pagarnya tidak menjulang tinggi serta tertutup. Rumahku salah satunya. Meski begitu, justru aku sendirilah yang membatasi pergaulan dengan mereka.
Jarang-jarang aku ditegur dan menegur tetangga. Paling kalo udah ketemu muka dan ga bisa menghindar, aku cuma senyum dan sedikit menganggukan kepala, lalu melintas begitu aja. Entah kenapa, pagi ini depan rumah begitu rame ibu-ibu kompleks termasuk para pembantu, mengerumuni gerobak tukang sayur, dan tukang buah yang berjajar tepat di samping pagar. Teramat sangat terpaksa, aku tersenyum pada mereka, sambil membuka pagar, menuntun sepeda keluar, lalu mengunci kembali.
"Pagi, mas Chandra!" Ibu Ida. Istri ketua RT kompleks ini, menyapaku dengan ramah, di tengah kesibukannya memilih Salak dari keranjang tukang buah.
Dengan bu Ida, aku sudah beberapa kali ngobrol, sewaktu mengurus surat keterangan pindah untuk bikin KK. Sebenarnya sih berurusan dengan suaminya, hanya saja bu Ida itu tipe perempuan yang selalu ingin tau. Mungkin karna aku jarang ngobrol, lantas begitu ada kesempatan, dia akan memanfaatkan sebaiknya untuk banyak bertanya.
"Pagi, Bu Ida." Kubalas sapaannya.
"Mau olahraga, Mas? Kok bawa sepeda." Persis seperti yang aku duga, akan ada pertanyaan setelah salam pembuka.
"Berangkat kerja, Bu. Menghindari macet." Jawabku seperlunya karna sebenarnya aku enggan banyak bicara.
"Udah kerja? Di mana? Saya pikir masih kuliah."
"Udah, Bu. Di pertokoan daerah Kembang. Saya di bagian kantor."
Bu Ida menanggapi dengan manggut-manggut. Ga jelas dia paham atau cuma memaksakan agar terlihat paham.
"Mbak Nuna ga belanja, Mas?" Seorang ibu-ibu yang aku sendiri ga tau namanya dan ga tau sebelah mana rumahnya, bertanya. Lucunya, dia menyebut istriku dengan 'mbak Nuna'. Mungkin dia pernah dengar aku menyebut 'nuna' ketika memanggil istriku, maka dia mengartikan itu adalah sebuah nama.
"Mungkin ga ada yang pingin di beli."
"Emang ga pernah masak?"
"Ngapain masak, kan punya kafe. Tinggal nyuruh tukang masak." Sebelum sempat kujawab, bu Ida menjawab pertanyaan si Ibu tadi.
"Tiap hari makan enak dong." Kembali si Ibu bertanya.
"Ya iyalah. Emang kita, tiap hari bau asap dapur." Dan bu Ida pun menjawab lagi.
"Hahahhaa...." Tawa kompak gerombolan ibu-ibu, terdengar riuh memecah pagi.
Setengah jam aku di sini, bisa ga sehat otakku menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari para tetangga yang seakan haus akan gosip. Rata-rata umur mereka sebaya dengan Mama. Bedanya, mereka murni ibu rumah tangga. Makanlebih banyak waktu di rumah untuk bergosip ria.
Aku pamit dengan alasan takut telat. Lalu bergegas mengayuh sepedaku, meninggalkan mereka yang belum terpuaskan bertanya-tanya.
******
Maksud hati, aku ingin memberikan kejutan kecil untuk nuna. Membelikan cake di bakery langganannya. Rencana itu gagal karna begitu jam pulang kantor, boss mengajakku meeting di luar. Ku sempatkan memberitahu dia akan hal ini. Sudah bisa dipastikan, tanggapannya begitu dingin, seakan tak peduli. Jadilah aku yang menggalau sendiri.
Meeting di luar yang di maksud, adalah berada di tempat karaoke, dengan pemandu yang berpakaian serba minimalis. Tak usah ku gambarkan seperti apa rupa mereka. Yang pasti, aku butuh level keimanan lebih tinggi, untuk menghindari godaan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brogan Kesayangan Nuna
Romance"Diatara milyaran perempuan di dunia, aku memilihmu, Nessa Hanumdita, untuk menjadi istriku. Menghabiskan sepanjang sisa hidupku bersamamu, hanya itu yang aku mau. Mungkin aku memang lebih muda, tapi aku yakin, aku mampu memberimu bahagia." "Diantar...