Awang dengan senyuman manis. Ciri khasnya yang tetap terlihat menarik meski diderai hujan deras. Payung yang ia pegang laksana hiasan pelengkap dalam lukisan alam. Melihat wajahnya sekilah saja sudah membuat hatiku nyaman dan aman.
"Ada apa?" Aku berteriak sebelum akhirnya aku berlari di tengah hujan dengan bodohnya. Membuka pagar rumahku dengan tergesa-gesa , padahal Awang sedang terkikih melihat perlakuanku. Tanpa alas kaki, tanpa sadar dengan begitu menyenangkannya bajuku berhasil dibasahi oleh air hujan. Aku telah berdiri di hadapan Awang.
Awang langsung memayungiku yang basah kuyup tertawa. Dengan nakal menyentil dahiku, "Kamu bisa sakit. Jangan lari-lari tanpa payung. Pakai sandalmu juga"
Aku kaget beitu mendengar suara Awang. Terlihat aneh bukan melihatku penuh semangat bahkan rela hujan-hujanan hanya demi menemui mantan pacar di depan pagar rumah.
"Habis ini cepetan keramas. Besok kelasmu ada ulangan geografi kan? Jangan lupa belajar" ucap Awang sambil memayungiku.
Kulihat bahu Awang basah oleh hujan. Jantungku berdebar melihatnya masih memperlakukanku dengan baik. Aku ingin kembali bersamanya.
"Kenapa datang?" Tanyaku.
"Jadi aku nggak boleh datang?"
"Pergi sana"
"Kenapa? Takut hatimu berdebar kalau lihat aku? Lagipula kamu sudah hujan-hujanan dan sudah berdiri di sini" Awang mengambil sesuatu dari saku celananya.
Sebatang cokelat ia sodorkan kepadaku, "Ku dengar dari kakakmu, kamu mengurung diri di kamar sejak tadi" Awang tersenyum. Melengos pergi setelahnya. Membiarkanku mengambil alih payungnya. Membiarkanku diam memandang dirinya diterpa hujan. Membiarkannya berlarian dalam untaian gemericik air. Berlari, kemudian berbelok dan tak terlihat.
Aku masih terdiam. Tak ada yang aku gerakkan selaih jantungku dan nafasku. Bahkan tak mampu lagi mataku berkedip. Awang yang bersikap seolah masih menyukaiku. Membuatku semakin menaruh harapan padanya.
Mungkin sebagian orang tak ingin putus cinta karena takut tak bisa lagi berhubungan dengan mantan kekasihnya. Takut karena nantinya mungkin menjadi canggung. Takut karena nantinya belum terbiasa hidup tanpanya. Takut karena tak ada yang bakal ngapelin. Dan yang lebih penting takut melihatnya dengan orang yang lain.
Lamunanku yang memandang Awang terhenti. Tanpa sadar aku menangis di bawah perlindungan payung biru ini. Tak tahan, aku ingin mengatakan segalanya pada Awang.
Harus aku akui, aku terlalu mencintainya.
***
Kutatap cokelat pemberian dari Awang di dalam kulkas. Tak lupa kutulis kalimat jangan dimakan! Agar jika kak Galang ataupun mama yang punya nafsu buat makan cokelat enggak jadi makan.
"Anak gadis mama kok senyum-senyum sendiri?" Ucap mama diiringi dengan lirikan mata penasaran mengarah ke kulkas. "Awang ya?" Lanjutnya.
Aku hanya nyengir. Kututup kulkas. Pamit. Kemudian bergegas keluar dari rumah.
Kak Galang duduk di atas motornya. Bersiap hendak mengantarku ke sekolah. "Ayo buruan. Nanti telat" teriaknya.
Tak ada satupun kata yang terucap. Tak ada basa-basi biasa. Kekecewaan ini masih mengganjal di hati. Bahkan ketika aku turun dari motor, kucoba untuk pura-pura menghiraukan kak Galang dan lari secepat mungkin.
"Nil.. Biasa aja wajahnya ga usah dikusutin gitu" Ica, temen sebangku. Cerewet. Rewel. Lumayan pintar tapi nakal. Anak jaksa. Patah hati abis ditolak. Suka makan bakso gratis.
Aku tak menggubris Ica sama sekali. Otakku sibuk mengingat kakakku yang akan segera kuliah di luar negeri. Mataku sibuk memandang jendela kelas yang ditempel stiker pokemon.
Ah, mataku terkejut melihat sesuatu, untung saja mataku tak keluar menggelinding dari wajahku. Kulihat Awang dari balik jendela. Awangku. Iya Awangku.
Awang yang sibuk bercanda dengan seorang gadis berhijab.
Entah bagaimana cara kerja otakku. Entah bagaimana cara hatiku melawan nafsu. Kakiku melangkah begitu saja keluar kelas. Tanpa sadar aku yang dungu ini memasang ekspresi marah, "Awangg!!"
Sepontan, Awang dan gadis tadi. Bahkan hampir dari seluruh siswa di koridor melihatku
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Ludah - Ludah Rasa
RomanceObsesi yang tak pasti membuat seseorang bisa mengakhiri kisah cintanya dengan alasan sederhana. Namun, bagaimanakah komentar yang dilontarkan oleh hati? *terbit setiap hatiku tersakiti