.
.
.
.
Sebuah kisah itu tak perlu panjang lebar, tak perlu juga berakhir bahagia untuk si tokohnya. Seperti kisahku bersama Dia. Walaupun singkat tapi penuh makna, walau sekejap tapi terkenang sangat dalam, walau hanya sekecap tapi terasa abadi.
Begitu indah kisah ini, namun tragis secara bersamaan, terasa manis namun juga terasa sangat menyakitkan.
.
.
.
Dimulai dari hari-hariku yang biasa, monoton, tak bermakna dan membosankan. Setiap hari aku hanya melakukan hal-hal yang sama, tidak ada yang menarik dalam keseharianku. Aku hanya sekolah, makan, mandi, tidur dan kembali melakukan hal yang sama setiap harinya. Tapi itu dulu, sekarang berbeda. Aku menemukan jalanku, jalan yang menuntunku untuk keluar dari kebiasaan setiap hariku. Ku bertemu dengan dia. Dia yang selalu duduk sendirian di bangku taman saat hari mulai menjelang petang, di pagi atau siang hari aku tak pernah melihatnya, bahkan aku tak pernah melihat sosoknya dimanapun selain di bangku taman itu setiap sore. Tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk memperdulikannya, aku memang orang yang tidak terlalu peduli dengan urusan orang lain. Hingga suatu sore dia menyapaku terlebih dahulu saatku pulang sekolah, dengan sedikit rasa enggan aku menghampirinya dan berbicara dengannya. Saat itu aku memang sedang tidak ingin pulang, karena ayah dan ibuku lagi lagi harus lembur kerja dan tidak bisa pulang.
Sebenarnya aku ini orang yang kesepian, aku tak punya teman di sekolah, bahkan di rumahpun aku tak pernah di pedulikan. Aku hanya mempunyai boneka teddy yang selalu menemaniku tidur, menyimak curhatanku, dan mendengar semua tangisanku.
Sepertinya duduk sebentar dan sedikit berbasa-basi tidak ada salahnya. Beberapa saat kami berbincang, aku tau Ternyara Dia orang yang baik, sangat asik untuk di ajak berbicara tapi ada yang anehh. Kenapa dia selalu ada di bangku itu hanya saat sore hari. Ingin aku bertanya tapi ahh itu bukan urusanku pikirku.
.
.
Hari mulai berganti hari, kini setiap sore hari aku rutin pergi ke taman hanya untuk menemui Dia, bertukar cerita, bahkan saling berbagi rahasia masing-masing. Kami mulai akrab bahkan lebih akrab dari keluargaku sendiri yang selalu tidak memperdulikanku.
.
Aku senang saat bersama dia, dia selalu bisa memberiku solusi akan masalah-masalahku, dia selalu bisa membuatku tertawa dengan tingkah-tingkah konyolnya, dan saat bersamanya aku merasa memiliki orang yang disebut dengan teman. Aku tak bisa jauh darinya, bahkan saat sedang turun hujanpun aku selalu memaksakan diri untuk bertemu dengan dia di sore hari setiap harinya.
Hingga pada suatu hari aku di paksa orang tua ku untuk pindah sekolah ke sekolah asrama, aku tak tahu alasannya. Mereka hanya bilang, orang di sekitar rumah kita sepertinya tidak bisa berlaku baik padamu. Walaupun itu bukan alasan yang logis tapi aku tetap menyanggupinya.
.
Sehari sebelum kepergianku, aku menyempatkan diri bertemu dengan sosok dia. Dia terlihat sedih saat aku bilang akan meninggalkannya, dia memohon untuk aku tidak pergi, tapi aku tak mungkin terus bersamanya karena aku juga telah menyetujui kepindahanku ini. Sebenarnya aku juga tak ingin meninggalkannya di bangku taman itu sendirian, tapi apa daya aku harus tetap pergi. Tapi aku berjanji suatu hari nanti aku akan menemuinya kembali.
.
.
.
.
.
Angan itu memang serasa nyata
Kesamaran yang kini di depan mata bagai sebuah fakta
Aku terhayut didalamnya
Menikmati setiap alunan khayalan dalam kesendirian
Aku tak ingin ini berakhir
Aku tak ingin berpisah
Namun aku akan pergi bersama angan yang selama ini kita rangkai
Angan yang terlalu naif untuk diwujudkan.
.
.
.
.
3 tahun berlalu. Selama aku di sekolah yang baru, entah kenapa aku merasa itu bukanlah sekolah. Tidak ada pelajaran, tidak ada guru yang seperti disekolahku dulu, bahkan disana tidak ada perpustakaan. Ditempat itu aku, setiap harinya hanya di tanyai tentang beberapa hal oleh seorang yg selalu memakai jas putih, orang itu sangatlah tidak memperlakukanku dengan baik, bahkan orang itu selalu menyuntikku sesuatu saat aku meraung tak ingin menjawab pertanyaannya.
Aku tidak memiliki teman disana, karena hanya ada aku sendirian,di kamar yang serba putih dengan teddy bear ku yang selalu ku peluk setiap saat. Aku sebenarnya takut, aku sendirian tapi terkadang sosok dia selalu terlintas di bayanganku dan itu selalu berhasil membuatku tersenyum sendiri mengingat hari-hariku dulu bersamanya. Konyol memang tapi itu memang kenyataan.
.
.
Satu tahun pertama berada di tempat aneh dengan di urusi oleh orang berjas putih, dan terkurung dalam ruangan yang juga seba putih itu membuatku ingin kabur, hingga suatu hari aku berhasil keluar dari sana lewat jendela yang aku buka paksa. Tapi baru saja aku keluar dari ruangan nista itu, dari arah ruangan sebelah terdengar sesuatu yang membuatku diam seribu bahasa.
"Anak anda mengalami gangguan jiwa dengan selalu membayangkan sesuatu hal yang tidak nyata."
Itulah yang ku dengar saat ku berhasil keluar dari ruang sekap dengan memeluk boneka teddyku. Aku gila?? Haha lelucon macam apa ini? Aku ini waras, aku masih bisa melihat hal yang benar dan yang salah, bahkan aku bisa mengerti arti dari ucapan yang baru saja aku dengar.
.
.
.
Semenjak mendengar ucapan itu, aku lebih sering merenung mencoba menyangkal perkataan si orang yang berjas putih itu kepada ayahku, hingga aku berpikir dan terus berpikir apa yang membuat mereka berpikir aku ini gila. Aku bingung ,aku frustrasi, rasanya kepalaku ingin meledak saat aku memikirkannya. Ku banting semua barang yang berada di dekatku, ku menangis meraung raung, lalu si jas putih itu datang dan lagi-lagi dia menyuntikku hingga aku lemas dan terlelap .
.
.
.
Masih belum ada jawaban kenapa aku ini di vonis memiliki kelainan jiwa, semejak mendengar vonis itu aku menjadi pendiam, aku tidak mau melakukan apapun. Aku hanya duduk di atas ranjang sambil memainkan boneka teddyku seharian. Hingga ibuku datang menjengukku, melihatku dalam keadaan yang mengenaskan, dia menangis di depanku tapi aku tak bisa apa apa, aku hanya melihatnya dengan pandangan kosong, seolah olah tidak ada yg salah dengan tangisan ibuku.
"Nak maafkan ibu yang tak bisa menjagamu. "
Saat mendengar ucapan ibu refleks aku membalas "Hanya Dia yang selalu menjagaku."
Ibuku mematung melihatku. "Lupakan dia!! Dia itu tidak ada!! Dia itu hanya hayalanmu sayang, kau harus tau orang yang selalu kau temui di bangku taman dan selalu kau banggakan itu tidak ada. Tidak ada siapa siapa disana. Kau hanya berimajinasi, kau begini dan berada ditempat ini juga karna dia. Lupakan dia dan cepatlah sembuh." ibu sedikit membentakku dan itu membuatku meringkuk takut. Saat ibuku keluar, lagi lagi aku termenung menyesapi ucapan ucapan ibu. Aku tak ingin percaya tapi ini ucapan ibuku sendiri. Tak mungkin ia membohongiku.
.
.
Waktu terus berlalu hingga aku mencoba keluar dari belenggu yang menjeratku. Sulit memang, tapi setelah berjalan beberapa tahun. Akhirnya si jas putih yang ternyata adalah dokter jiwa pribadiku itu menvonis aku telah sembuh. Aku berhasil keluar dari bayang bayang semu itu, aku berhasil menerima sosok dia itu hanya sebuah angan yang tak pasti.
.
.
.
Kebebasan kini ada di hadapanku
Namun itu terasa hampa
Sayapku kini bebas terbang kemanapun
Tapi hati ini masih terikat masa silam
Bibir ini kini bisa tersenyum
Tapi saat malam tangisanlah yang bisa ku pertontonkan.
.
.
.
.
Bahagia?? Ya tentu saja, apa lagi ayah dan ibuku yang langsung memelukku erat saking bahagianya. Dari dulu aku ingin pelukan itu, dari dulu aku mengidamkan kehangatan ini. Dan kini aku bahagia telah mendapatkannya.
.
.
Saat perjalanan pulang ke rumah, aku meminta sang ayah untuk mengantar ku ke taman yang dulu selalu ku datangi. Awalnya mereka menolak, tapi setelah melihat keinginanku yang kukuh ingin kesana, akhirnya mereka menuruti keinginanku.
.Saat sampai di taman, Ku lihat bangku itu masih sama seperti 3 tahun yang lalu, yang berbeda hanya tidak ada sosok dia yang selalu duduk disana setiap sorenya. Ku berjalan kearah bangku itu dan duduk sambil menatap langit, ayah dan ibuku terlihat tengah mengamatiku dari samping mobil dengan ekspresi yang tidak dapat aku jelaskan.
.
Berbicara sendiri? tertawa? bernyanyi? seperti seorang yang tengah bermain dengan orang lain padahal aku hanya duduk sendiri. Itulah kenyataan aku yang dulu jika aku duduk di bangku ini.
Ku lirik bangku sampingku. Kosong. Ya tidak ada siapa- siapa disana, imajinasiku kini telah hilang entah kemana. Tapi aku tak pernah menyesali pernah bertemu dengan dia, bahkan kini aku ingin sekali melihatnya walau hanya sekejap untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih Karna dia kini hidupku tidak membosankan seperti dulu lagi, berkatnya aku kini bisa memeluk orang tuaku yang dulu hanya mimpi, dan karena dia juga aku memiliki keluarga yang akan selalu menyayangiku. Terima kasih, Walau pertemuan kita sekejap tapi aku takan melupakannya, terimakasih Mr.Imajiner walau karena mu aku disebut orang gila, tapi karena mu pula kini hari ku akan lebih berwarna.The End
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr.Imajiner
FantasyCerita itu tak perlu di khususkan dengan nama tokoh tertentu. Karena imajinasi itu datang maka biarkan itu mengalir dengan semestinya. Ceritaku ini mungkin tak jelas dan tak bermakna. Namun itu asli dari khayalan ku semata. . Terima kasih!!!