Bagian 14. Naik Sumbing

7.3K 752 87
                                    

(Sindoro dari Sumbing)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Sindoro dari Sumbing)

***

Kami berkumpul di rumah Feri, sebelum berangkat. Aku hanya membawa ransel sedang, tidak terlalu besar, berisi makanan, termos air hangat, dan camilan. Yang akan ikut mendaki Sumbing? Ada aku, well, tentu saja. Lalu Irfan dan Jatayu. Feri dan Arjuna, oh, dan Eyang menyuruh tiga pemuda untuk mengawalku, agar tidak terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Ya, Eyang memang lebay. Kami rencananya akan mengambil jalur Garung, menurut Feri jalur itu yang paling aman. Dan ternyata, Feri pernah naik Sumbing ketika dulu baru duduk di bangku kelas 3 SMP. Masih pukul tiga sore, kami berangkat dengan mobil pick up, milik Papanya Feri hingga POS 1. Apa ya tadi nama POS satunya? Eem, sebentar, POS Malin. Eh, Malim ding, he-he.

Ini pertama kalinya aku naik mobil pick up. Kalian tahu mobil pick up, kan? Yang bagian belakangnya terbuka? Biasanya untuk mengangkut sayuran atau pasir. Jatayu berada di dekatku, sementara Arjuna sudah membaur dengan yang lain. Arjuna ternyata tipe orang yang easy-going, mudah sekali akrab dengan orang baru. Aku sendiri memakai jeans pas kaki, kaos lumayan tebal berlengan panjang, dan aku double dengan jumper ber-hoodie, warna merah. Juga sepatu lari berwarna senada dengan jumper-ku, koleksi dari reebok. Aku harus tetap stylish walaupun naik gunung. Ini prinsip. Siapa tahu di atas gunung tengah ada syuting film baru.

Kami tiba di POS Malim, pukul tujuh malam. Arjuna menganjurkan kami untuk istirahat sebentar sebelum melanjutkan ke POS 2. "Teh buat Aden-nya Kak Atha yang paling ganteng di sini."

"Ah elah, yang naik Sumbing bareng pacar. Mesra mulu dari tadi." Sahut Irfan. "Dijagain tiga bodyguard lagi." Irfan bersiul.

Aku mengabaikan Irfan dan menerima teh botol dari Jatayu. Iya, teh botol, kalian pikir teh hangat? Tidak ada di sini. Ha-ha. Harus bongkar termos, aku malas. Baru juga POS satu. "Makasih, Kak." Di sini kami berbagi camilan. Mengusahakan perut kami terisi namun tidak kekenyangan. Dari POS Malim menuju POS dua, atau POS Genus, jalanan berupa tanah padat, namun sedikit menanjak. Masih ramah lingkungan kok, aku saja masih bisa mengikuti walaupun belum pernah naik gunung sebelumnya. Taro rasa rumput laut aku genggam di tangan kiri. Iya, aku naik gunung sambil ngemil. Sudah, tidak usah protes.

Kami tiba di POS Genus pukul tujuh malam. POS 2 berupa tanah lapang, cukup luas untuk menampung kami berdelapan. Namun karena kami berdelapan masih kuat, kami memutuskan untuk lanjut ke POS tiga. Perjalanan menuju POS tiga, ya Setan, haleluya sekali. Tidak ada jalan yang landai, menanjak semua. Di depanku ada Jatayu, sedangkan di belakang ada Arjuna. Jadi, karena pandangan mataku harus sering ke atas, pantat Jatayu menjadi semacam motivasi sendiri agar aku harus tetap kuat. Maksudku, pantat Jatayu bagus, dan itu membantu mataku untuk tetap fokus menatap ke depan. Mungkin aku harus membisikki Bapak Mohammad Nuh, menteri pendidikan tahun ini, agar memasukkan materi memiliki pantat bagus seperti pantat milik Jatayu ke dalam materi pendidikan. Atau untuk produk iklan? Miliki bokong indah ala Jatayu?

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang