Hai terima kasih ya yg sudah baca dan komen dicerita ini. aku terharu banget baca komen kalian meskipun aku kelewatan buat bales satu-satu,tapi aku baca semua kok. aku seneng dapet semangat buat nerusin ini yang notabene ceritanya kurang diminati pembaca ^^
Habis chapter ini, chapter depan bakal lumayan banyak lovey dovey. aku juga pengen liat Bram manis manis manja sama Nabila hehehe. semoga gak bosen yaa dan typo plis hehe
***
"Mas, mas!" Nabila mencoba menghentikan langkah besar Bram yang buru-buru menyeretnya menuju pekarangan rumah. Wanita itu mengoyak pegangan Bram seketika membuat Bram berbalik dengan wajah penuh emosi.
"Mas, jangan gitu! Nggak sopan, mas!"
"Aku beneran muak sama omongan omaku, Nab! Dia selalu banyak nuntut aku, seperti pilihanku selalu nggak tepat buat dia!" sentak Bram hilang kontrol. Nabila tahu bukan saatnya dia ikut tersinggung. Meskipun oma Bram seolah mengatakan secara tidak langsung kalau pilihan cucunya itu tidak sesuai. Tidak sederajat dengan apa yang mereka miliki. Tapi Nabila kali ini harus menjadi pihak yang dingin supaya bisa menenangkan Bram.
"Aku yakin oma nggak maksud gitu sama kamu! Tolong, hargai beliau. Oma itu orang tua, mas. Seenggaknya kalau kamu nggak setuju, jangan asal main keluar dari acara. Jangan bicara pake nada tinggi sama yang lebih tua, mas." Nabila meraih lengan Bram untuk menyadarkan pria itu bahwa sebagaimanapun oma Bram melukainya, Bram masih tidak pantas membentak yang namanya orang tua.
Bram mendengus gusar. Melihat kekasihnya yang sudah bermuka campur aduk. Entah antara sedih, kecewa, putus asa. Dinetralkannya sejenak nafasnya yang sempat memburu, lantas Bram membalas genggaman tangan lembut itu.
"Kamu jangan dimasukin hati kata-kata oma ya? Aku tetep bakal nikahin kamu walaupun oma begitu. Yang mau nikah itu aku, bukan beliau." rintih Bram sedih. Nabila tak bisa untuk tersenyum miris.
"Mas, alangkah baiknya restu orang tua itu kita dapetin. Restu itu doa mereka buat anak-anaknya sukses, mas. Aku juga ngerti, oma kamu kaya gitu karena ingin lihat kamu dapat yang terbaik."
"Kamu yang terbaik buat aku, Nab! Walaupun oma kekeuh suka lihat aku sama Tania, tapi dia juga harus nerima kenyataan kalau aku nggak akan sama Tania!"
Kepala Nabila tertunduk layu. Dia tidak mengerti, kenapa dia merasa dadanya sesak mendengar nama Tania terucap. Mungkin Nabila melihat kenyataannya semua orang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan mantan Bram yang kelewat segalanya itu. Semua orang. Ada Ardito –bosnya, beberapa rekan kerjanya di kantor, dan kali ini omanya Bram. Mengetahui dirimu hanyalah seonggok rumput liar yang disandingkan dengan wanita macam Tania, Nabila ingin sekali mengubur diri.
Tapi Nabila tahu meskipun ia ingin mengubur diri sendiri, Nabila enggak melakukannya. Karena sayang. Nabila terlanjur sayang dengan Bram.
"Udah ya, mas. Please, jangan gini lagi. Kamu beruntung masih punya oma yang perhatian sama kamu." ujar Nabila membuat bahu Bram terkulai. Perkataan Nabila seperti ada benarnya. Mungkin situasi seperti ini Bram membenci omanya, tapi jika suatu saat omanya tiada, Bram bisa saja terpuruk.
Detak pacu jantung Bram kian melambat dan kembali normal. Namun rasanya Bram terasa hangat. Dia memeluk Nabila penuh sayang, pelukan yang rapuh seperti tak ingin ditinggalkan. Bram kini yakin, Nabila adalah separuh jiwanya.
"Makasih, Nabila. Makasih." bisik Bram berkali-kali. Mengubur hidungnya dirambut Nabila yang penuh dengan bebauan nikmat. Menyejukkan hatinya. Nabila membalas pelukan itu, mencari pegangan kepada Bram karena dia cukup getir melihat keadaan malam ini. Makan malam yang seharusnya berjalan lancar, malah berakhir seperti ini. Meninggalkan hati Nabila yang sedikit terbelah karena perkataan nenek Bram. Tapi seperti apa yang dikatakan Bram tadi, seharusnya ia tak ambil pusing. Bram akan selalu ada di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...