Sekeping Hati yang Gundah

1.4K 21 12
                                    

Ini sudah yang kelima kalinya, dia oleskan lipstik berwarna merah cerah itu di bibirnya. Dirasa puas dengan hasilnya, 'perempuan' setinggi 170 sentimeter itupun mengambil sebotol parfum isi ulang beraroma "amethyst", untuk kemudian disemprotkan ke bagian leher, belakang telinga, pergelangan tangan dan sejengkal di atas kepala. Dia menyukai wangi yang menurutnya misterius.

Anggaplah dia seorang 'perempuan', karena seperti itu penampilan yang dia nyatakan tiap malam. Malam ini dia memilih tema 'merah', begitu warna yang dipilihkan untuk dress tanpa lengan dengan panjang selutut yang dikenakannya sekarang. Stoking hitam menyelubungi seluruh permukaan kaki. Dia ingin menyempurnakan tampilan meski telah mencukur seluruh rambut halus yang tak diinginkan. Sepasang sepatu berhak tujuh sentimeter, juga berwarna merah, sudah menunggu untuk dikenakan.

"Mengapa aku begini, jangan kau pertanyakan...."

Gerakan tangan menyapukan blush on pink muda di pipinya terhenti saat nada dering terdengar. Dia melihat nama yang tertera di ponselnya, tersenyum sebelum kemudian mengangkatnya.

"Halo, malam, Cyin?"

Pupil matanya membesar saat melihat ada bulu mata terjatuh di kelopak mata kanan bawah pada bayangannya di cermin. Dengan satu usapan dia menyingkirkannya.

"Iya, sabar, eike masih di kontrakan. Lima menit lagi ya, Cyiinn."

Baru hendak memasukkan Blackberry ke dalam tas tangan yang juga berwarna merah, terdengar ketukan di pintu.

"Thomas. Ini ada yang nyari kamu di depan."

Suara Bu Diah, pemilik kontrakan, terdengar memanggil di balik pintu. Lekas dia beranjak dan membukakan pintu.

"Aduh, Bu. Kalo malam jangan panggil eike Thomas dong! Sekarang, nama eike Nyimas!"

Bu Diah mengedip-kedipkan matanya memandangi "makhluk" yang menampakkan diri di hadapan. Dikatakannya "makhluk", karena betapa jauh perbedaan penampilan "entah laki-laki atau perempuan" di hadapannya ini, pada saat siang maupun malam hari. Bu Diah bukannya tidak tahu pekerjaan sampingan Thomas, ingin hati menegur, tapi paling cuma dijawab begini, "ye, ini juga kan untuk bayar kontrakan Ibu!"

"Iya, maaf. Itu, yang nyari di depan penting katanya. Dia bilang dari Mas Adi, gitu."

Mata Thomas membesar seiring mulutnya yang membulat. Teringat akan panggilan tadi yang memintanya untuk segera bertemu di kamar 403 Hotel Bunga, adalah Raka, pelanggannya yang paling tidak sabaran namun suka melebihkan bayaran. Sementara laki-laki yang namanya disebut barusan oleh Bu Diah tadi adalah satu-satunya pelanggan yang sudah berhasil mencuri hatinya, pun satu-satunya yang diperbolehkan Thomas menemui di kontrakan. 

"Serius, Bu? Mas Adi yang nyari eike?"

Bu Diah mengangguk.

"Iya. Ngapain juga Ibu bohong. Itu lekas, temui di teras. Jangan kamu bawa ke kamar!"

Bu Diah menuding untuk menegaskan kalimat terakhirnya. Biar sajalah penghuni kontrakannya berbuat apa di luar, asal tetap jaga jangan bertingkah macam-macam di dalam bangunan miliknya. Bu Diah melangkah tinggalkan Thomas yang masih mematung di depan pintu kamarnya dengan perasaan bimbang.

Koleksi Cerita Mini Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang