Bagian 1

2 1 0
                                    

Mungkin tidak semua orang. Akan tetapi, banyak yang beranggapan buruk pada seorang lelaki yang seharusnya sudah bekerja, namun malah berdiam diri di rumah. Menikmati masa kebebasan dengan merebahkan diri sepanjang hari, memakan banyak camilan, mendengarkan radio, dan membagikan kiriman orang lain di sosial media. Atau istilah memalukannya adalah pengangguran. Orang yang tidak bekerja meski sudah cukup umur. Lihatlah! Betapa memalukannya istilah itu. Dan aku yakin, 95% pengangguran tidak akan merasa bangga akan status dirinya. Walaupun orang itu berusaha menghibur diri dengan mengutip kata-kata mutiara dari pengarang besar tentang kebebasan. Kehidupan yang damai dan merdeka. Itu hanya omong kosong, bung. Tak ada yang benar-benar merasa bahagia. Selalu saja ada pikiran malu pada dirinya sendiri, setidaknya itu yang aku rasakan saat ini.

Maksudku, tak ada yang benar-benar terus terang menghinaku atas keadaan diriku saat ini. Orang-orang pandai membungkus hinaan dengan kata-kata manis, hingga tak terkesan menghina, setidaknya bagi orang yang kurang perasa. Kata-kata seperti, 'Kau seharusnya malu!', berubah menjadi 'Tampaknya kau sudah akrab dengan merebahkan diri.'. Lalu diucapkan dengan senyuman yang dibuat sedemikian manis. Percayalah, itu sindiran. Itu perintah untuk membuat jiwa ragamu bergegas.

Dan dalam kasusku, aku belum genap sebulan berkecimpung dalam dunia pengangguran. Setelah mengundurkan dari pekerjaan sebelumnya, aku memang belum mendapatkan pekerjaan lagi. Tak ada alasan khusus. Hanya saja mencari pekerjaan tidak semudah membuat telur orak-arik. Juga tidak seperti di film-film atau sinetron yang di mana si pengangguran berjalan ke sana ke mari mencari pekerjaan. Lalu diusir secara halus karena penampilan yang kumal dan bermandikan keringat. Aku hanya berusaha mencari informasi di media massa atau sejenisnya. Lalu melakukan usaha maksimum ketika menemukan suatu informasi atau peluang. Selain tidak menguras banyak tenaga, juga tidak menguras banyak uang.

Aku pernah memiliki saran untuk para pengangguran untuk jangan terlalu banyak kegiatan yang tidak berguna. Maksudku, yang mengeluarkan biaya besar dan tak ada sangkut pautnya dengan mencari pekerjaan. Seperti menonton bioskop, liburan ke luar kota untuk mengunjungi beberapa situs sejarah dengan maksud update story di media sosial. Dan kau tahu, saranku dinilai aneh oleh orang-orang di sekitarku. Khususnya ibuku. Dia begitu muak melihatku seharian mengurung diri di kamar, dan tentu saja keluar bila saat lapar atau ingin buang air.


"Kau akan membusuk di kamarmu itu, Po. Carilah udara segar!" teriak ibu ketika mencoba masuk kamarku untuk membangunkanku dan ternyata pintu terkunci.

Aku memiliki saran tersebut bukan berarti aku tak suka liburan. Tentu saja aku ingin pergi berlibur mengunjungi beberapa kota atau negara, lalu pulang membawa oleh-oleh dan plastik penuh pakaian kotor. Hanya saja-, aku tak perlu mengatakannya. Maksudku, kalian semua tahu alasannya. Seandainya pergi liburan hanya bermodalkan pantat, tentu aku sedang berada di Jerman saat ini. Lalu memacari satu gadis Jerman dan merayunya dengan mengutip kata-kata dari buku Shakespeare. Atau pergi ke Negeri Socrates dengan niat belajar filsafat. Setelah itu pulang dengan penampilan yang berubah. Dengan menggunakan pakaian khas warga Yunani Kuno. Lalu bicara kedamaian dan keadilan yang kini sudah hilang.

Tapi nyatanya berbeda, bung. Dan ibu tak setuju dengan pendapatku.


"Kau masih bisa liburan tanpa perlu mengeluarkan biaya sedikit pun. Dunia tak sepelit yang kau kira."


"Ya, Bu, aku tahu. Tapi mengunjungi air terjun di tengah hutan pun kini sudah menggunakan biaya masuk."


"Tidak seberapa, Po. Kau akan senang ketika melihat pemandangannya. Itu sudah sangat sesuai," ucap ibu.


"Ya, aku hanya percaya bahwa alam ini milik Tuhan."

Setelah beberapa saat, kakakku dan istrinya datang mengunjungi. Ini memang sudah direncanakan oleh ibu. Kakakku itu sudah agak lama tak datang lagi ke rumah setelah kunjungan terakhirnya yaitu dua bulan yang lalu. Dan ibu merindukan makan siang bersama.

Biar kuceritakan tentang kakakku dan istrinya. Nama kakakku Malik. Ia berusia enam tahun lebih tua dariku. Ia adalah satu-satunya kakakku, dan aku adalah anak terakhir. Ia kini bekerja sebagai penulis yang sudah menulis tiga buah buku. Sifatnya arogan. Sombong sekali. Ia sudah merasa seperti penulis hebat, atau setidaknya sekelas C.S Lewis. Padahal buku yang ia tulis baru tiga buah, dan tidak terlalu laris. Namun sombongnya bukan main. Ia pernah membubuhkan tanda tangannya di berbagai macam peralatan di kamarku. Seperti gitar, kalender, dinding, lemari, bahkan dua kausku.

"Kau seharusnya bangga. Suatu saat nanti tanda tanganku ini banyak dicari dan diminta. Dan kau sudah punya banyak tanda tanganku.," katanya saat itu.

Ia pernah memberiku ketiga bukunya. Namun aku menolak. Bukan aku tidak suka membaca buku. Hanya saja aku lebih menyukai buku dari pengarang klasik, seperti William Shakespeare. Atau buku-buku detektif karangan Agatha Christie, atau Sir Arthur Conan Doyle. Dan aku tidak bermaksud menghina karyanya. Meskipun kuakui sedikit menyindir pada akhirnya.

Sedangkan istrinya, adalah wanita cantik bernama Sarah. Secara keseluruhan, kakak iparku ini sangat baik. Ia pernah memberiku tiga buah buku Agatha Christie saat hari ulang tahunku. Dan selama tiga tahun menjadi kakak iparku, ia tidak pernah bertingkah kasar aneh. Ia selalu bersikap lembut dan bicaranya manis. Maka dari itu aku menyayanginya, bahkan lebih dari aku menyayangi kakakku sendiri.

Kedatangan mereka disambut heboh oleh ibu. Namun kedatangan mereka bukan berarti dimulainya acara makan siang ini. Karena kita harus menunggu ayah yang sedang dalam perjalanan pulang. Beliau bekerja sebagai bos di Bank Swasta. Jadi keadaan ekonomi keluarga stabil dan selalu tercukupi. Namun aku tidak peduli pada jabatan ayahku.

Baru saja kakakku duduk, ia sudah langsung menceritakan karier menulisnya. Tentu saja aku bosan, karena ia selalu menyelipkan nada sombong dan menghina kepadaku. Hanya karena aku tidak gemar menulis sepertinya. Kau tahu, aku pun pernah menulis beberapa cerpen atau esai, untuk dikirim pada majalah sekolah hingga akhirnya diterbitkan. Namun aku tidak pernah cerita pada Malik, kakakku itu.

"Sekali-kali kau harus mencoba menulis buku, Po. Aku yakin kau memiliki bakat menulis buku. Untuk memulai karier, buatlah lebih dulu cerpen atau puisi. Lalu kirimkan ke media massa. Kau akan mendapatkan uang juga dari itu. Jangan hanya gemar membaca buku tapi tidak berusaha menciptakan bukumu sendiri. Belajarlah dari kakakmu ini," celoteh Malik.

PoeticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang