JAKA
Setelah membalas satu pesan Artha barusan, aku langsung bersiap. Berganti pakaian, sarapan, lalu pergi. Yah, aku mengajaknya ke Ancol hari ini, dan kami akan bertemu di halte Flyover Raya Bogor pada pukul sembilan. Ini masih terlalu pagi, sehingga aku masih punya waktu sedikit.Motorku melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Pondok Rangon. Aku tidak tahu ini yang keberapa kalinya aku pergi ke makam Billa tanpa mengabari Artha. Bukan karena aku tidak mau memberikan kabar kepadanya. Hanya saja, aku belum menemukan waktu yang tepat. Nanti, setelah aku sudah bisa menjelaskan serinci-rincinya apa alasanku selalu pergi ke sini, baru aku akan mengatakannya.
Oke, lupakan. Itu bukan urusan yang harus kupikirkan sekarang.
Aku menarik napasku setelah selesai memanjatkan doa. Buket bunga berisi mawar putih kuletakkan di dekat nisan atas nama Ritha Arsabilla Afia. Senyumku mengembang tipis.
“Billa, aku harus wakilin sekolahku di kompetisi News reading, dan Artha jadi partner-ku,” ucapku. “I don’t know whether it’s a good news or a bad one. Yang pasti, aku bimbang.”
Aku benar bimbang. Sampai detik ini, belum kutegaskan apa tujuanku mengikuti kompetisi tersebut. Karena Artha juga mengikutinya? Karena ingin membantu Artha yang mau menepati janjinya kepada Billa? Atau karena tiga tahun lalu Billa yang berpartisipasi dalam kompetisi ini?
Aku tidak punya jawaban pasti.
“I will make it for you,” kataku lagi. Dari detik ini, kutekadkan dengan bulat. Aku akan melakukannya untuk Billa. Aku harus memenangkan kompetisi tahun ini demi Billa.
Waktu berjalan. Aku terus-menerus menceritakan segala hal kepada Billa. Sampai kusadar ada beberapa titik air yang jatuh membasahi kepalaku. Semakin lama semakin banyak, dan aku sadar, aku sudah bersimpuh di sini terlalu lama. Tebak saja, ketika aku melirik ke arloji di tanganku, tiga jarum di dalam lingkaran itu menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh.
Artha!
Ya Tuhan, aku lupa kalau aku harus ada di halte pukul sembilan.
Aku merogoh saku celanaku, tapi tidak bisa menemukan ponselku di manapun. Di motorku juga tidak ada. Di saku jaket, di manapun, tidak ada sama sekali. Sialan. Aku malah meninggalkan ponselku di saat genting seperti ini.
Hujannya semakin deras sehingga aku harus berteduh. Tapi Artha pasti sudah menungguku. Ya Tuhan, ini merepotkan. Aku tidak bisa memberi kabar kepada Artha bahwa aku terjebak di sini, di depan sebuah toko kado dan semacamnya yang kebetulan tutup—atau belum buka, aku tidak tahu.
Air yang turun semakin lama semakin banyak dan semakin cepat. Jalanan di hadapanku sudah basah dengan sempurna.
Aku tidak bisa terus-menerus menunggu hujan sementara Artha di sana menungguku. Aku tidak peduli sederas apa hujannya. Sekalipun setelah ini aku akan sakit, aku tetap menerobosnya hingga aku tiba di rumah, dan menemukan ponselku tergeletak di meja belajarku.
Ada puluhan pesan yang belum dibaca, dan telepon tidak terjawab dari satu nama yang sama. Telepon terakhir masuk sekitar satu jam yang lalu, dan itu diangkat. Pasti Mas Haris. Sekarang Mas Haris tidak ada di rumah, dan mobilnya juga tidak ada di garasi. Ke mana?
Aku menelepon balik ke Artha, tapi tidak ada satu pun teleponku yang direspons. Balasan pesan-pesanku juga tidak direspons sama sekali. Aku beralih, menelepon ke Mas Haris, tapi laki-laki itu juga tidak menjawab teleponku. Aku mau tanya apa yang Artha katakan ketika mereka bicara di telepon tadi.
Semuanya buyar. Selama seharian itu, sampai besoknya, Artha tidak mau mengangkat teleponku. Tidak juga sekali pun membalas pesan-pesanku. Bahkan sampai lusa.
+ + +
“Maaf,” tuturku untuk yang kesekian kalinya pagi ini. Artha masih mengabaikanku sejak detik pertama kami bertemu di halte, sementara sekarang, bus yang kami tumpangi sudah melaju di sekitaran jalan Matraman Raya.
Aku melepaskan sebelah kabel earphone yang Artha sangkutkan di telinganya. “Ar, please. Aku lupa kemarin enggak bawa hape, eh malah hujan, jadi aku neduh dulu.” Tetap kuusahakan untuk menjelaskan meskipun Artha terlihat tidak memedulikannya. Dan memang benar, ia tidak memedulikan semua penjelasanku. Earphone-nya yang kulepaskan itu dipakai lagi.
Tiba di halte Matraman 1, gadis dengan seragam putih-putih itu tetap tidak meresponsku. Bahkan ia langsung melangkah pergi, turun dari bus, dan menyusuri jembatan penyeberangan tanpa mengindahkan aku yang mengejarnya.
“Ar, come on.”
Artha benar-benar seperti tidak mendengar ada yang bicara, dan tidak melihat ada yang jalan di sisinya. Ya Tuhan. Aku benar-benar menyesal karena sampai meninggalkan ponselku Sabtu lalu, plus lupa kalau aku seharusnya sudah tiba di halte pada pukul sembilan, bukannya justru masih duduk dan bercerita panjang dengan Billa.
Sampai duduk di kursinya, Artha tetap mengabaikanku.
“Jak, pindah sana ah,” ujar Fikri yang kursinya tepat di depan Artha—yang sekarang sedang kutempati. “Masih pagi enggak usah pacaran mulu.”
Aku menoleh kepadanya. Laki-laki itu masih menggendong tasnya di punggung. “Sebentar aja. Ini bener-bener urgent,” kataku. Fikri hanya mengerlingkan matanya.
“Lo di tempat gue aja, Fik.” Tahu-tahu Artha menyahut, lalu beranjak dari kursinya. Ia menempati mejaku yang kosong, dan langsung membaringkan kepalanya di atas meja.
Semua orang di dalam kelas langsung menaruh perhatian. Entah itu kepada Artha, atau kepadaku. Yang pasti, masing-masing dari mereka, semuanya sempat melihat Artha dan aku secara bergantian.
Fikri duduk di kursi Artha, kemudian memandang balik kepadaku yang masih duduk menghadap ke belakang. “Lo lagi ribut, Jak?” tanyanya. Aku mengedikkan bahu. Bukan urusannya. “Anjir, masih pagi begini, Jak.” Tidak kurespons. Aku hanya langsung membalikkan badanku.
Kemarin, saat kutanya apa yang Mas Haris bicarakan dengan Artha, Mas Haris hanya bilang kalau Artha bercerita tentang dirinya yang sudah menungguku terlalu lama sampai akhirnya hujan turun, dan Artha terjebak di halte tanpa bisa pergi ke manapun.
Sebatas itu, dan kata Mas Haris memang hanya itu. Mas Haris juga tidak bilang ke mana ia pergi Sabtu lalu. Katanya pergi dengan temannya. Hanya begitu penjelasannya.
Aku tidak tahu apakah salah jika aku tidak memercayainya, tapi aku benar-benar tidak percaya. Tidak mungkin Mas Haris hanya bicara seperti itu dengan Artha.
Kenapa semuanya jadi serunyam ini?
Sampai bel pulang sekolah dibunyikan, Artha tetap bersikap seperti itu. Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutnya hari ini—sejak tadi pagi—hanyalah pada saat Artha meminta Fikri untuk menempati kursinya.
Aku menghela napasku perlahan. Begitu menyadari koridor sudah tidak terlalu sesak, langsung kuhentikan langkah Artha yang jalan di depanku. Aku mencengkeram tangannya sekuat yang kusanggup. Kutatap matanya lekat. “Ar, please,” tuturku.
“Aku mau pulang, Jak,” katanya. Benar-benar datar. “Don’t try to catch me, Jak. Aku capek.” Artha berusaha melepaskan cengkeramanku, tapi nihil. Aku tetap tidak melepaskannya. Kurasa tidak akan kulepaskan, sampai Artha mendengarkanku bicara.
Namun, belum aku angkat suara, ia justru langsung membentakku untuk segera melepaskan cengkeraman tanganku. Aku tetap tidak berkutik.
“I’m ready to explain it, Artha. Jangan kayak anak kecil, please,” kataku.
Artha berdesah berat. Tangannya berhenti berusaha. Tidak lagi memaksa untuk dilepaskan. Ia menarikku ke kursi kosong terdekat, lalu duduk di sana. Aku duduk di sebelahnya, tentu saja. Lagi pula, aku masih menggenggam tangannya.
Aku menjelaskan padanya kalau kemarin aku pergi dan lupa membawa ponselku. Artha hanya mengangguk-angguk tanpa minat, dan bilang kalau Mas Haris sudah mengatakan itu di telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Teen Fiction[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...