Pembicaraan tengah malam

141 27 11
                                    

"What the hell that you do? Pick me up at midnight?" Lena memandang Rivan dengan tanda tanya besar diatas kepala. Keheranan terlihat jelas di wajahnya.

Beberapa menit yang lalu Lena masih berada di atas sofa ruang tamu, dengan kripik kentang dan laptop diatas pangkuan. Ia hanya sempat menutup laptop asal tanpa berpamitan kepada orang tuanya ketika laki-laki berbaju abu-abu di hadapannya sekarang, menariknya ke luar rumah dan mendorongnya masuk ke dalam mobil.

"Gue lagi butuh temen makan." Rivan duduk di seberang meja. Rambutnya yang berantakan hanya ia usap ke atas agar tidak mengganggu mata.

"This is midnight, Van. Sekarang aja udah jam.." Kepala Lena berputar, menjelajahi ruangan restoran Amerika untuk mencari jam dinding. Sampai akhirnya ia melotot, "12 lewat 10?!"

Rivan terkekeh ditempatnya. Sebenarnya ia berpikir reaksi Lena akan jauh lebih heboh dari sekarang.

Ternyata tidak.

"Gue dapet diskonan disini."

"Hah?"

"Tapi diskonnya cuma buat jam malam doang."

"Apa sih!" Reflek, Lena memukul meja dengan tangan kanan. "Sejak kapan ada diskon jam malam di McD?"

Rivan tertawa, "Sejak gue hidup di dunia."

Lena berdecak kesal. Ia bergumam tidak jelas, hingga tanpa sengaja menangkap sorot mata Rivan yang redup, padahal ia sedang tertawa. Hal itu sudah cukup menyadarkan Lena akan alasan Rivan mengajaknya kemari.

"Are you missing me or something?" Tanya Lena tiba-tiba. Rivan yang mendengar hal itu terdiam, senyum di wajahnya bahkan tidak lagi tersisa. Tangannya terasa dingin untuk sesaat dan kepalanya penuh dengan berbagai macam hal yang ingin ia ceritakan.

Tapi tidak bisa.

"Yehh.." Balas Rivan. "Too confident, girl!"

Lena mengangkat kedua pundaknya, "Kali aja gitu kan."

Rivan kembali menutup mulut. Ia mengusap siku kirinya yang terasa dingin sambil memperhatikan Lena yang juga diam melihat kearahnya. Jari telunjuk perempuan itu mengetuk-ngetuk meja seirama dengan jarum jam yang bergerak.

Sebenarnya Rivan tidak terlalu suka dengan kepekaan Lena. Gadis itu bisa dengan sangat baik mengerti situasi yang kadang membuatnya gagal menyembunyikan apapun. Tapi sejujurnya Rivan tidak bisa menolak kenyamanan di persahabatan mereka karena hal itu membuat Lena selalu ada untuknya.

Tanpa Rivan sadari, kedua sudut bibirnya terangkat saat menatap mata Lena yang entah sejak kapan sudah ia favoritkan selain musik rock. Ia tidak tahu pasti kenapa jantungnya berdegup saat melihat Lena yang sebenarnya, hanya tersenyum bingung kearahnya.

"Lo ngapain anjir senyum-senyum?"

Rivan tertawa, mencoba menenangkan dirinya. "Lo sendiri ngapain ikut senyum?"

Lena mengerutkan dahi, "Gue gak senyum."

"Lo senyum tadi."

"Nggak!"

"Senyum!"

Lena berdecak, "Ih enggak!"

"Bocah."

"Bo, do!" Lena mengatakan hal itu dengan penuh penekanan di setiap potongan kata sambil memajukan wajahnya, seolah dengan begitu ia terlihat sangat mengolok-olok Rivan.

"Terserah."

Lena diam sebentar sambil menatap Rivan dengan muka datar, "I should have been sleeping now."

FragmentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang