1

59 4 0
                                    

"Jangaaaaaaannnnn!!!"
Teriakan yang terdengar hingga pelosok sudut rumah membuat Dika yang baru saja turun dari motornya segera menaiki anak tangga dengan terburu-buru.

"Ve?" Panggil Dika sambil membuka pintu kamar dengan nafas terengah- engah. "Lo ngapain sih, sampai teriak- teriak gitu? Gue kaget tau!"

5 detik, 6 detik, 7 detik belum ada jawaban
Dika menunggu lagi.

Setelah sepersekian-detik perempuan dihadapannya belum menjawab, maka Dika memanggilnga lagi dengan setengah berteriak

"Woi! Lo kira gue vas bunga apa di diamin aja dari tadi?!"

Perkataan Dika barusan berhasil membuat Velda menoleh kearahnya, tetapi hanya bertahan 2 detik, setelah itu ia kembali sibuk dengan laptopnya.

"Eh elo, kapan datangnya? Lagian kenapa berdiri aja didepan pintu?" Akhirnya Velda membuka suara, tapi jawabannya tidak nyambung dengan pertanyaan Dika tadi dan perhatiannya tetap tertuju pada monitor laptop didepannya.

Karena kesal, Dika mengambil bekas botol air mineral dan melemparnya ke arah Velda duduk. "Aw! Sakit tau!" Jeritnya saat botol tersebut mengenai ubun-ubunnya.

"Rasain tuh! Lagian gue tanya dari tadi jawab kek, asik aja sama tuh game."

"Iya deh maaf, emang ada apaan sih? Ganggu orang aja!"

"Harusnya gue yang tanya kayak gitu! Tadi lo kenapa sampai menjerit nggak jelas kayak orang kesurupan? Jantungan banget gue tau nggak?!" Tanya Dika sekali lagi dengan wajah merah padam.

"Heheh, khawatir banget ya?" Velda berusaha menahan tawa melihat wajah Dika yang seperti itu. "Gue tadi nggak kenapa-napa kok, cuma gue tadi di copet sama preman, makanya gue histeris gitu. Uang gue diambil semua lagi sama tuh orang! Terpaksa deh kumpul dari nol." Jawabnya dengan santai.

Dika tau, yang sedang Velda bicarakan adalah uang yang ada di dalam game virtualnya. Karena sangat jengkel dengan gadis dihadapannya, Dika keluar dari ruangan tersebut dan membanting pintu.

"Ih nggak jelas banget!" Ketus Velda

Saat sampai dikamarnya, Dika langsung merebahkan diri diatas kasur kesayangannya. Ia masih kesal dengan tingkah Velda barusan, karena jeritan Velda itulah ia sampai terpeleset saat menaiki tangga tadi. Tapi, walaupun Velda hanya anak angkat di keluarga mereka, Dika tetap merasa kalau Velda adalah saudara kandungnya. Selisih umur mereka juga tidak jauh. Dika lebih tua 4 bulan dari Velda, mungkin itu yang membuat mereka bisa sangat dekat.

Velda di adopsi oleh orangtua Dika kira-kira saat usianya masih 6 tahun. Ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat mereka berencana untuk berlibur. Velda adalah salah satu korban yang selamat dari puluhan korban yang tewas. Karena tragedi tersebut Velda kehilangan ingatannya.

Velda dibesarkan di panti asuhan bersama anak-anak yatim lainnya. Awalnya Velda di tawarkan untuk tinggal bersama kerabatnya agar ia bisa dibesarkan bersama keluarga, karena Velda tidak ingat apapun, ia hanya mengatakan bahwa semua kerabatnya tinggal di tempat yang jauh.

Dua bulan setelah tragedi mengenaskan itu, orangtua Dika datang ke panti untuk menjemput Velda dan mengangkatnya sebagai anak. Awalnya Velda menolak karena ia sudah merasa nyaman di panti, setelah dibujuk dengan berbagai macam cara akhirnya Velda menyetujuinya. Ketika ia sampai di rumah barunya, Velda takjub dengan bangunan yang ia sebut istana itu. Anak perempuan itu masuk ke kamar barunya, kali ini ia tidak perlu berbagi tempat tidur lagi seperti saat ia masih berada di panti.

Dan itu adalah kali pertama ia bertemu dengan Dika, anak laki laki yang menjadi sahabat sekaligus kakak untuknya. Awalnya ia berfikir bahwa Dika mungkin tidak suka dengan kedatangannya dirumah itu, tapi dugaannya salah. Menurut Velda, Dika merupakan kakak yang dapat mengerti dirinya, maka dari itu Velda menganggap Dika sebagai sahabat terbaiknya.

Mereka mempunyai kesamaan. Salah satunya yaitu sama sama bisa bermain musik. Dika bisa bermain drum sedangkan Velda ahli dalam piano. Saat Velda di beri piano baru oleh ayah angkatnya, ia sering mengajak Dika berkolaborasi dan sekarang itu sudah menjadi kebiasaan walaupun jarang di mainkan. Velda juga hobi bermain game. Dia bahkan betah berlama lama didepan layar laptopnya hanya untuk menamatkan game yang sedang ia mainkan. Hal itu bertolak belakang dengan Dika yang hobi berolahraga.

***
Velda terbangun saat mendengar nada dering di ponselnya berbunyi. Sudah 6 panggilan tidak dijawabnya, saat ia mau menelfon balik, ponselnya berdering lagi. Dengan segera Velda mengangkatnya saat dia tau bahwa itu dari Riko, ayah angkatnya.

"Iya pa? Maaf tadi Vely ketiduran, jadi nggak sempat angkat telfonnya." Jawab Velda dengan cepat sambil memberi penjelasan.

"Nyenyak banget ya tidurnya? Papa udah telfon dari tadi nggak di jawab jawab juga. Vely dan Dika udah makan siang kan? Jangan terlalu sering makan makanan ringan ya sayang, bisa sakit kamu."

"Heheh.. ok bos! Vely dan Dika udah makan kok, tadi Dika beliin lalapan di warung depan. Dika aja tuh pa, yang sering jajan diluar. Oh iya, papa dan mama jadi balik minggu depan kan?"

"Hmm, maaf sayang tapi dua minggu lagi papa dan mama mau ke Singapura, ada klien baru yang mau ketemu, jadi mungkin, tiga sampai empat minggu ke depan kita belum bisa pulang. Nggak apa apa sayang? Nanti papa beliin souvenir deh, atau Vely mau yang lain?" Tanya Riko yang berusaha menjelaskan dan membujuk putri angkatnya itu.

"Vely cuma mau papa dan mama pulang supaya kita nggak kesepian disini. Cepat pulang ya pa," Velda kecewa.

"Iya sayang, papa usahain secepatnya. Udah dulu ya? Klien papa udah nunggu soalnya. Bye Vely sayang."

"Bye pa, miss you so." Velda mengakhiri.

Dear My Lovely BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang