Tak apakan kalau saya bertanya, "Apakah kamu pernah jatuh cinta dalam sebuah perjalanan?"
Saya kerap melihat banyak cinta dalam setiap perjalanan. Ia tercecer disebuah pasar yang ramai. Terlukis di wajah seseorang lelaki yang sedang berjalan bersama kekasihnya. Terpancar di wajah para pedagang yang berjalan mencari pembeli. Menyelinap diantara wajah-wajah lelah penumpang bus. Bahkan terlihat disetiap sudut kota yang saya kunjungi.
Wajah-wajah yang jatuh cinta itu membuat saya teringat, jatuh cinta memang bisa membuat warna hitam sekalipun tampak merah jambu. Membuat yang sunyi terasa tak sepi.
Di dalam sebuah perjalanan, saya pernah jatuh cinta kepada seseorang. Rasanya memang sangat menyenangkan.
Bersamanya, saya melakukan banyak hal konyol. Namun, tak ada satupun yang saya sesali. Semuanya terasa manis. Bahkan sampai hari ini.
Saya masih ingat, pada suatu pagi, di Berastagi, Tanah Karo. Dia menjemput saya jam seputuh pagi di depan minimarket tepat di depan hotel saya menginap. Saya ingat betul pakaian apa yang ia kenakan. Bahkan saya masih bisa mengingat wangi nya pagi itu.
Saya menemuinya dengan penuh kebahagian. Jadilah kami jalan-jalan pagi itu dengan mengendarai motor miliknya.
Tempat yang saya kunjungi dengan dia pertama kali yaitu Pagoda atau biasa disebut Taman Lumbini. Tidak banyak percakapan antara kami berdua, hanya sesekali bertanya dan menyatakan pendapat. Sekitar setengah jam kami berada di tempat itu dengan sedikit percakapan. Akhirnya kami segera pergi untuk terus berkelana.
Disana saya menyadari, bahwa ada bahasa yang tak bersuara. Ada aksara yang tak memerlukan kata-kata. Dan itu cinta.
Kami melanjutkan perjalanan kami menuju kota kabanjahe. Diperjalanan yang lumayan jauh itupun tidak banyak percakapan yang kami lakukan. Saya hanya menanyakan kami berada dimana lalu dia menjawab. Tempat yang kami lewati saat menuju kabanjahe sangat luar biasa. Jalan yang tentram diselimuti oleh rindangnya pepohonan yang tidak dapat ditembus oleh sang surya.
Ini perjalanan saya yang sangat luar biasa bersama orang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup saya.
Saya melihat banyak keindahan disana. Ladang hijau yang terbentang luas, gunung sinabung yang sedang berduka pun masih terlihat indah.
Sesampainya di kabanjahe, ia menceritakan semua hal yang ia ketahui tentang tempat itu. Yang saya ingat dia memberitahu saya SMP tempat dimana ia menuntut ilmu dulu. Dari kota berastagi menuju kabanjahe, jarak yang menurut saya cukup jauh, ia tempuh dengan kendaraan umum waktu itu untuk sampai disekolah. Ia enggan untuk pindah sekolah karena sudah kelas tiga saat itu.
Sebelum tinggal di berastagi ia pernah tinggal di kabanjahe, maka dari itu ia harus menempuh jarak yang cukup jauh untuk kesekolah.
Ia mengajak saya ke masjid lama kabanjahe untuk sholat dzuhur. Kami harus melewati para pedagang pasar untuk dapat sampai disana. Masjidnya memang sangat terlihat tua. Semuanya masih menggunakan kayu dan papan. Bercat hijau seingat saya.
Setelah itu, kami memutuskan untuk kembali ke berastagi. Di perjalanan, ia menunjuk kearah seseorang ibu dan memberitahu saya bahwa itu adalah gurunya sewaktu SD (eh TK apa SD ya? Aku lupa). Saya nyeletus kenapa tidak menyapa. Dengan enteng dia menjawab "aku aja yang ingat, ibu itu mungkin udah lupa. Kan muridnya bukan aku aja". Saya menyetujui pernyataannya.
Perjalanan kembali ke kota berastagi kami lalui hanya berdiam tanpa ada percakapan. Sesekali saya senandungkan lagu dari bibir saya yang terdengar cempreng sambil menikmati perjalanan.
Setibanya di berastagi, ia mengajak saya untuk singgah sebentar kerumahnya. Saya bertemu dengan kedua adiknya. Saya cukup tertarik untuk berteman dengan adik laki-lakinya saat itu tapi saya tidak bisa berkata-kata. Lidah saya keluh. Rasa lapar berubah menjadi kenyang dan rasa haus pun hilang. Ya, saya gugup saat itu.
Setelah sekitar satu jam beristirahat dirumahnya, kami memulai perjalanan kembali menuju gunung sibayak.
Ini kali keduanya saya mendaki gunung ini. Yang membuat beda adalah kali ini saya pergi dengan seseorang yang pernah mengisi hati saya.
Disepanjang perjalanan saya merasa bersyukur dipertemukan dengan seseorang yang sangat baik hatinya walaupun sedikit garing. Tak ada selangkah pun yang saya sesali saat itu. Langkah saya benar-benar menyengkan. Mungkin langkah yang berbeda. Seperti setiap langkah tersimpan makna yang diiringi lagu cinta.
Disepanjang mendaki, beberapa kali langkah saya terhenti, seperti ingin pingsan. Badan saya lemas namun semangat terus membara. Ia melihat saya kelelahan, beberapa kali ia menawarkan untuk bertukar tas dan saya tidak pernah menyetujui tawarannya. Memang tas saya waktu itu sangat penuh dan berat apalagi saya harus berjalan menanjak.
Saya semakin lemas, terhenti tanpa berkata. Dia yang sudah jalan didepan saya pun menghentikan langkahnya. Kembali menghampiri saya lalu menanyakan keadaan saya. Dengan napas yang tidak beraturan saya menjawab bahwa saya baik-baik saja. Waktu itu matanya menatap kearah saya dan tanpa sengaja saya melihat tatapannya. Terlihat sangat dekat saat itu. Ingin pingsan rasanya. Bukan karena capek dan lemas, tapi karena kedekatan dan tatapannya.
Buncah.
Dibalik tatapan tersebut saya selipkan permintaan saya didalam hati. Sederhana, saya hanya meminta saya ingin kembali ketempat ini lagi suatu hari nanti. Walau tidak bersama dia setidaknnya saya bisa mengingat setiap langkah saya bersama dia di tempat ini.
Kali ini, lebih dari sekedar tatapan terdekat. Diperjalanan menuju puncak, saya dapati jalan yang tidak rata, lebih tinggi dari biasanya. Dia menaikinya lebih dahulu. Saya terdiam beberapa detik saat saya lihat dia mengulurkan tangannya kearah saya. Saya gapai tangannya saat itu. Saya pandang kearahnya. I felt like a heart attack. Saya tunjukan terima kasih dengan hanya tersenyum.
Perjalanan kami masih setengah. Kabut tebal menutupi pandangan. Akhirnya kami putuskan untuk istirahat sejenak sambil menunggu kabut menghilang. Bersender dibebatuan yang ada di sekitar gunung. Saling berhadapan. Ia mengeluarkan popcorn yang ia bawa dari rumah tadi. Ia menawarkan kepada saya namun saya tolak. Tak selera rasanya.
Sudah lama sekali rasanya kami menunggu kabut menghilang tapi tak kunjung hilang, yang ada malah gerimis datang. Cerita kami terpotong saat itu dan kami putuskan untuk tidak menuju puncak dan memilih kembali kebawah. (kalo boleh jujur, padahal ngga masalah lho ujan-ujanan).
Yang saya ingat ketika berjalan untuk kembali ke bawah adalah ketika kakinya terluka. Tak saya lihat lukanya saat itu, hanya saja saya paksa dia untuk membuka sepatunya dan melihat apa yang terjadi dengan kaki. Hanya lecet katanya. Saya enggan melihat karena takut darah.
Setelah hampir sampai, kami tidak langsung menuju parkiran. Kami terduduk ditangga yang kanan kiri terdapat semak belukar. Dia menunjukan saya buah berwarna keungu-unguan. Katanya buah berry. Dia minta sama memakannya namun berkali-kali saya tolak. Tapi kali ini saya iyakan, karena dia juga akan memakannya bersamaan dengan saya. Yang saya ingat dia berkata "ayok berani ngga? Makannya sama-sama tapi ngga boleh licik ya, harus dimakan." Terselip senyum nya saat itu yang hingga sekarang tidak bisa saya lupakan. Bersamaan kami makan berry itu dan saya melepehnya. Rasanya sepat, asem dan getir. Sedangkan dia terus mengunyahnya hingga habis tertelan. Dia bilang saya licik dan harus mengulang. Jelas saya tolak.
Tak lama setelah itu kabut pun menghilang, kami putuskan untuk turun menuju parkiran. Dia berada beberapa langkah di depan saya. Sambil memandang kearahnya saya selipkan sekali lagi permintaan saya kepada Tuhan "If I were reborn, I wish I would be able to meet him again in my future life."
Memang diperjalanan kami yang singkat ini tak banyak pembicaraan. Tapi tatapan dan genggaman tangannya saat itu meninggalkan hangat yang masih terasa sampai sekarang.
Saya tau, tak semua kisah jatuh cinta berujung bahagia. Namun, berharap merasakan cinta bisa tumbuh tua bersama waktu, juga bukan sebuah keinginan yang muluk.
Cinta adalah sebuah perjalanan yang tak bisa ditempuh dalam satu atau dua hari. Tidak juga dalam sebulan atau satu tahun. Tak ada peta untuk menemukan tempat bernama cinta. Tak ada buku panduan yang bisa menuntun kita kesana. Mana ada pula buku panduan menghemat bujet untuk tiba disana.
Cinta adalah perjalanan panjang, ia tumbuh tua bersama waktu dan manusia. Dan ia, tak pernah benar-benar jauh. Selalu memeluk manusia dengan erat. Mengisi celah yang mungkin hanya sejengkal itu.