Garis demi garis, goresan demi goresan, Ayah ukir pada kanvasnya. Satu persatu jenis warna dia padukan. Menjabarkan perasaan Ayah ke dalam bentuk sebuah lukisan indah.
"Ingatlah, Ryu. Saat kau menginginkan sesuatu, lebih menyenangkan bila kau berusaha untuk mencapainya sendiri. Karena rasa kepuasan terhadap hasil usahamu sendiri itu lebih nikmat dibanding lainnya," tutur Ayah sembari menepuk pelan bahu kecilku.
"Satu lagi. Apapun keinginanmu yang kau anggap berguna nantinya, laksanakan saja sepenuh hatimu. Kau bebas memilih apa keinginanmu," lanjutnya, kini dengan senyum yang mengembang.
Semenjak aku mengetahui hobi Ayahku, aku langsung mengagumi bagaimana cara dia mengungkapkan perasaannya dalam bentuk dua dimensi. Serta keluwesannya ketika menggoreskan kuasnya di atas kanvas putih.
Sebagaimana rasa kagumku yang besar pada Ayah, di detik itu pun muncullah keinginan terbesarku.
Setahun kemudian, Ayah pergi jauh meninggalkan kami. Meninggalkan dunia. Meninggalkan segalanya. Ayah telah tiada.
Terakhir dia meninggalkan lubang besar di hati Ibu. Tak hanya Ibu saja, aku dan adik kecilku pun begitu. Tapi yang paling terluka adalah Ibu. Betapa histerisnya dia saat menatap wajah Ayah yang pucat dan dingin.
Hari-hari berikutnya, Ibu murung dan berdiam diri di kamarnya. Terpaksa aku harus memasak untuk keseharian meskipun tidak seenak masakan Ibu. Aku juga harus merawat adik perempuanku yang masih 3 tahun. Yah, memang kami beda 5 tahun, tapi aku harus bisa menggantikan Ibu untuk sementara ini.
Beberapa hari kemudian, akhirnya Ibu sedikit demi sedikit mau bicara denganku. Namun entah mengapa dia jadi lebih membentak daripada sebelumnya. Dia juga kembali mengambil alih urusan rumah tangga, termasuk merawat adikku.
Kami kembali seperti semula meski tidak sebaik dan semenyenangkan ketika Ayah ada.
**********
"Kak, ayo temani aku ke kota. Aku ingin memetik Azalea di sana karena tak ada satu pun yang tumbuh di sekitar sini. Kakak mau, kan?"
Mendengar adikku menyampaikan keinginannya seperti biasa dan bahkan mengajakku walau cuma sekedar menemani, dengan refleks kedua ujung bibirku tersungging ke atas.
"Kakak sepertinya tidak bisa menolakmu, ya, Runa..."
Ketika aku beranjak dari tempatku duduk menghadap kanvas, terlihat dari raut wajahnya bahwa dia begitu senang dengan jawabanku.
Kami berdua pun berangkat menuju taman kota.
**********
Sesampainya di rumah, kami melihat Ibu berdiri di depan pintu dengan wajah yang sama sekali tidak menyenangkan. Di tangan kanannya terpampang jelas sebuah cambuk tebal. Kami mendekat secara perlahan dengan tubuh gemetaran. Baru kali ini kami melihat Ibu seperti ini.
Apa yang akan kau lakukan terhadap kami dengan cambuk sebesar itu, Ibu?
Runa yang sebelumnya berjalan beriringan di sampingku, kini bersembunyi di balik punggungku. Ia lebih gemetar dan takut dari pada aku.
"Darimana saja kalian?" tanya Ibu yang nampak seperti menahan kemarahannya walaupun menurutku itu sangat jelas.
"Kami mencari Azalea di kota," jawabku mewakili Runa juga.
"Ryu, Runa, jangan sekali-kali kalian pergi ke kota."
Aku tentunya merasa heran mengapa Ibu harus melarang kami untuk ke sana. "Tapi kenapa, Bu?"
"Jika suatu saat Roh Rubah dalam tubuhmu itu marah dan tak terkendalikan lalu mengamuk di kota, yang pasti kita bakal diusir dari sini."
"Ro.. Roh Rubah...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
For You, Mom [END]
Short StoryRyu memiliki keinginan yang berawal dari melihat sang ayah. Semenjak ayahnya tiada, Ryu berusaha untuk mencapai keinginan itu dan akhirnya tersampaikan. Namun, apa yang terjadi pada Ryu setelahnya? Ikuti ceritanya disini.. huehuehue