Rumi Buck

54 2 0
                                    

"Wake Up Honey"

Seperti itu lah tradisi bangun pagi kami, ya Aku dan Rumi.

Namanya Rumi Buck, entah dari mana dia mendapatkan nama 'Buck' itu. Aku tidak ingin bertanya tentang masa lalunya, begitupula dengannya. Kami telah membuat kesepakatan sebelum kami pacaran dulu. Ya, kesepakatan untuk tidak membahas masa lalu kami. Karena kami hanya ingin menjalaninya dan mencapai cita-cita berdua di masa yang akan datang nanti.

Kira-kira pacaran 3 tahun, hingga akhirnya Rumi melamar ku, meminta ku untuk menjadi istri pertama dan terakhirnya.

"Hey honey, ayo sarapan" ajaknya sambil menciumi pipiku. Dasar Rumi, ada-ada saja tingkahnya untuk membuatku bangun dipagi hari.

Aku membukakan mataku, mencoba menatapnya dengan hangat dan tersenyum, Rumi juga.

Rumi masih mengenakan baju tidurnya, dengan 3 kancing yang terbuka dari atas. Mungkin ia kepanasan setelah memasak.

"Kamu masak apa sayang?"

"Nanti juga kamu tau, cuci muka dulu gih"

Aku kembali tersenyum mendengar jawabannya, ku naikan tanganku memintanya untuk menarik ku dan membangunkan ku. Untungnya Rumi adalah lelaki yang sangat peka terhadap berbagai macam kode perempuan, sehingga ia mengikuti apa mau ku, hehehe.

***

"Selamat ulang tahun sayang, ini aku masakin sup rumput laut untuk kamu"

Ah, iya aku ingat, hari ini adalah hari ulang tahun ku. Meskipun aku tidak tahu pasti kapan ulang tahun ku. Karena ibu panti hanya memberikan aku sebuah kotak yang katanya disitu terdapat barang pribadi peninggalan orangtua ku. Ya, orangtua ku sudah tidak ada lagi, mereka meninggal ketika usia ku 3 tahun, lalu aku dititipkan disebuah panti, "harapan-ku" namanya. Didalam kotak yang diberikan ibu panti, aku menemukan sebuah liontin dimana ada fotoku bersama Ayah juga Ibu sedang tiup lilin, disitu ada sebuah keterangan bawaan dari kameranya 7 Maret 1997. Hanya itu lah kenangan yang aku punya, sehingga aku tidak pernah memakainya, karena takut usang.

"Terimakasih Rumi"

Rumi tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya untuk berdoa.

"Semoga di usia yang ke-23 tahun ini, kamu bisa menjadi ibu, amin"

"Ih, Rumi apaan sih haha" tawa ku lepas begitu saja karena ulahnya.

"Loh, emangnya kamu ga mau jadi ibu dari anak-anak ku?"

Aku pun terdiam sebentar, dengan mimik muka yang seolah-olah sedang memikirkan sesuatu.

"Haha, kelamaan mikir ah sayangku" ucapnya.

"Amin" ucapku. Tanpa banyak perbincangan yang terjadi, kami menikmati sarapan yang dimasak oleh Rumi. Rumi memang pandai memasak, lebih dari pada aku malah. Aku selalu merepotkan Rumi, tapi ntah kenapa Rumi justru senang, tidak pernah ku dengar ia mengeluh ketika ia bersamaku. Sungguh beruntungnya aku yang menjadi istrinya.

"Sayang"

Aku menatapnya tanpa bergerak, karena kami masih berada dalam meja yang sama, dengan posisi yang sama pula.

"Hari ini kamu mau kemana?" tanyanya. Aku tidak menjawabnya, tetapi hanya menggelengkan kepala pertanda bahwa aku tidak tau.

Rumi tersenyum, ia membalikan posisi garpu yang sedari tadi dipegang. Lalu pergi ke kamar. Dan tidak lama ia kembali lagi dengan sebuah kotak disertai pita merah muda.

"Bukalah"

"Apa ini?" Tanyaku penasaran. Tapi Rumi tidak menjawab. Saat ku buka, aku melihat ada 2 tiket perjalanan.

"Mau kemana kita?" tanyaku kebingungan.

"Pantai"

"Kamu serius?" ucapku. Rumi mengangguk, lalu ku peluk ia tanpa mengubah posisi ku dan juga Rumi "Tapi.." aku tiba-tiba melepaskan pelukan.

"Kenapa sayang?"

"Kerjaan mu gimana?"

"Hahaha! Tenang saja sayang, biar nanti Thomas yang handle"

Oya, Rumi memiliki sebuah Cafe dan Pet shop tapi bukan sepenuhnya milik Rumi sih melainkan gabungan bersama temannya, Thomas. Thomas Alberto, teman satu kampus Rumi.

"Asik! Pantaiiii, wait for me" ucapku kegirangan.

*KRING* *KRING* *KRING*

"Biar aku yang angkat saja Rumi" tanpa mengetahui reaksinya, aku pun berjalan menuju telepon yang sedari tadi berbunyi.

"Hallo, dengan kediaman Rumi Buck disini"

"Oh, Thomas!"

"Apa?"

"Baiklah, Rumi akan segera kesana".

We Are Just...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang