All kill

9 0 0
                                    

Baru saja Samuel menginjakkan kakinya di lantai dua, ia sudah mendapati Jihoon yang tengah sibuk memasukkan seluruh barang yang ada di meja kerja ke dalam kardus. Lebih dari itu semua, yang lebih menarik atensi Samuel adalah wajah Jihoon yang merah padam. Kalau sudah begini, biasanya kata-kata yang akan keluar dari mulut Jihoon lebih amis daripada bangkai ikan—

"Jangan tanya apapun, aku sibuk."

Satu kalimat berisi lima kata itu sudah cukup membungkam mulut Samuel. Tanpa sepatah kata, ia turut membantu Jihoon memasukkan tumpukan map berisi berkas penting milik perusahaan yang biasa dikerjakan Jihoon sampai ia harus lembur. Ketika ia bisa melihat wajah Jihoon lebih dekat, ada jejak air mata di dekat hidungnya.

"Aku..." Samuel menggigit bibirnya, "tadi baru saja membeli sekardus susu cokelat."

Jihoon menoleh. Samuel tersenyum lantaran warna merah padam di wajah Jihoon mulai memudar.

"Tunggu lima menit lagi. Kau duluan saja ke atap."

.

.

Jihoon menghisap sedotan sampai kotak susu itu kempes, lantas melemparnya ke belakang. Ini sudah kotak yang ketiga ia habiskan tanpa mengatakan apapun pada Samuel yang hanya bisa menatapnya. Perlu diketahui, Samuel sukanya sirup melon alih-alih susu sokelat.

"Kalau dia memang tidak suka padaku atau kinerjaku buruk, aku bersedia dipecat. Mutasi tiba-tiba ke daerah pedalaman dalam waktu kurang dari 24 jam membuatku merasa lebih buruk dari dibuang. Memangnya apa salahku? Dasar garpu tala!"

Samuel menahan tawa. Jihoon sedang marah besar, batinnya.

"Aku tahu kau ingin tertawa, Kim Samuel." Jihoon mendorong pelan bahu Samuel yang membuat tawanya pecah.

"Hei, kau tahu, sumpah serapahmu itu terlalu lucu. Garpu tala, selokan pabrik, usus buntu, ampas tahu, lalu selanjutnya apa?"

"KECEBONG LAUT! KOMPUTER RABIES! GEDUNG TERLANTAR! PIYAMA GELANDANGAN!"

Samuel terguling sambil memegang perutnya yang mulai sakit karena tidak berhenti tertawa, sementara Jihoon yang terlihat puas setelah mengeluarkan kekesalannya ikut-ikutan tertawa. Atap gedung perkantoran itu menjadi saksi bisu persahabatan mereka selama ini. Tidak ada satu pun karyawan yang mau ke sana lantaran tempat itu terlalu tinggi dan angin berembus cukup kendang di sana. Cukup ekstrim, memang, tapi justru tempat itulah yang membuat Samuel dan Jihoon bagai terikat benang merah.

"Karena kau dipindah ke bagian gudang, kurasa kita harus mencari tempat baru untuk bertemu dan mengobrol." Samuel menyesap sirup melonnya, "dan tempat untuk memaki, tentunya."

Mendadak hanya ada suara semilir angin di pagi musim gugur di antara mereka berdua. Jihoon menatap lamat-lamat Samuel yang menunduk menatap lantai semen yang tengah jadi alas duduk mereka berdua. Mereka berdua sudah dekat semenjak sekolah menengah dan kini persahabatan itu menginjak usia sembilan tahun. Satu sekolah, satu kampus, dan kini satu pekerjaan. Salah satu dari mereka kini akan dipindah ke tempat bekerja yang terpencil dan jauh tentu membuahkan perasaan tidak menyenangkan.

"Memakilah kalau memang ingin memaki, Muel."

"Untuk apa aku memaki kentut kuda nil, setoran toilet, dan daki badak itu?"

Kemudian tawa mereka pecah, membuyarkan barisan angin yang tadinya mengelilingi mereka.

"Mulutmu lebih parah, Bung!"

Samuel mencebik, lalu mengangkat kaleng sirupnya.

"Karena hari ini kau pindah, bagaimana kalau kita bersulang?"

"Bersulang untuk apa?" Jihoon mengernyitkan alis, namun menurut saja untuk mengangkat kotak susu cokelatnya yang keempat.

"Untuk kinerja kita yang lebih baik lagi. Masa bodoh dengan rumput pemakaman itu! Memangnya dia siapa, hah?"

Jihoon mengangguk cepat, "kau benar! Memangnya pulpen bocor itu siapa, bisa meruntuhkan semangat muda kita, hah?!?"

"Kita muda!" teriak Samuel.

"Kita mampu!" balas Jihoon lantang.

"Kita pintar!" balas Samuel lagi.

"KITA TAMPAAANNNN!!!"

"YESSSS!!!"

Mereka berdua lalu meminum minuman masing-masing sekali teguk. Sehabis minuman itu, mereka bersendawa puas dan kemudian tertawa lagi.

"Kim Samuel?"

Tawa mereka disela oleh seseorang yang muncul dari balik pintu keluar. Dia adalah sekretaris direksi, Lee Daehwi. Ia bergegas menghampiri Samuel dan menyerahkan sebuah amplop tertutup.

"Ada apa, sekretaris Lee?" tanya Samuel saat menerima amplop itu.

"Baca saja. Aku duluan. Oh iya, Park Jihoon, supir sudah menunggumu di lobi."

Jihoon mengacungkan jempol seadanya sementara Samuel membuka amplop yang baru saja ia terima. Selama beberapa detik ia terdiam membaca surat yang ada di dalamnya.

"Jihoon, coba kau baca surat ini. Apa mataku yang salah atau bagaimana?"

Belum Samuel menyerahkan surat itu, mata Jihoon sudah terbelalak. Ia sudah membaca surat itu saat Samuel membacanya tadi.

"Kau—"

"dipindah ke gudang yang ada di Taiwan. Benarkah isi suratnya seperti itu?"

Jihoon mengangguk dengan mulut menganga, "dan kau harus pindah per tanggal besok, Muel."

Ekspresi Samuel kontan berubah muram. Jihoon menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu lalu merangkulnya.

"Ambil sisi positifnya saja. Setidaknya kita tidak harus bertemu dengan sarden kadaluarsa itu, bukan?"

FIN

Chaos MoodWhere stories live. Discover now