o14 ;

4.2K 548 6
                                    


Detik di mana Hayi memijakkan kaki di rooftop, mulutnya seketika membulat. Berada di ketinggian 30 lantai dari tanah, ia dapat melihat lampu-lampu jalan di bawah sana. Tidak hanya itu, langit malam yang cerah juga menunjukkan keberadaan kerlip bintang.

"Keren," Hayi tanpa sadar menggumam demikian. Ia memandang Hanbin yang berjalan mendekat ke arahnya. "Ketika cowok lain ngajak jalan ke mal, makan, nonton, kamu ngajak jalan buat liat bintang," gadis itu mengangguk-angguk seraya tersenyum.

Hanbin balas tersenyum. Kini, ia berada di sebelah Hayi. "Hanbin emang antimainstream," sahut lelaki itu. Ia lalu menarik tangan Hayi agar duduk di sebelahnya.

"Kenapa bawa aku ke sini, Bin?"

Hanbin beralih memperhatikan langit di atas mereka. Sebenarnya setelah ini akan ada yang ia ungkapkan. "Mau bikin ... pengakuan dosa," ujarnya.

Hayi mengerutkan dahi, tidak paham dengan jawaban lelaki itu.

"Soal kenapa tiba-tiba aku minta putus," sambung Hanbin, "aku punya alasan."

Raut wajah Hayi langsung berubah datar. Ia tidak lagi menatap Hanbin. "Okay, go ahead. Kasih tau aku kenapa."

"Papa kamu." Hanbin merasa ada sesuatu yang tak terlihat mulai mengimpit dadanya. Rasanya sesak.

"Papaku kenapa?"

"Terakhir kali aku ke rumahmu, aku ketemu orang tuamu buat yang pertama kali. Kesan pertama soal orang tuamu, mereka baik. Tapi papa kamu sempet bilang ... sesuatu."

"Makasih, Om sama Tante, udah membesarkan anak secantik Hayi. Saya seneng bisa ketemu dia." Sebelum pulang, mama dan papanya Hayi sempat mengantar Hanbin sampai pagar. Ada Hayi juga ketika Hanbin berkata demikian.

"Alay," Hayi berujar sambil menahan senyum. "Udah ah, aku masuk."

Mamanya Hayi tertawa, lalu menyusul Hayi masuk. Tinggal papanya Hayi dan Hanbin di luar.

"Hanbin." Mendengar namanya dipanggil, Hanbin yang sedang memakai helm kini menoleh. "Gimana ya bilangnya," pria itu terlihat menghindari tatapan Hanbin.

"Kenapa, Om?"

"Fase terhebat dalam menyayangi seseorang adalah bahagia melihatnya bahagia, meski bahagianya bukan karena kita. Agak ketinggian bahasanya, ya?" Papanya Hayi sempat tersenyum sekilas, tapi Hanbin tidak melihat ketulusan di sana.

"Hayi masih harus ngelanjutin kuliah, saya nggak tau kalo kamu nerusin atau nggak. Sebagai papanya, ... saya nggak mau ngeliat anak saya nggak bahagia," lanjut pria itu.

Hanbin terdiam. "Saya ... pasti bikin Hayi bahagia," sahut Hanbin.

Pria itu malah tertawa pelan. "Saya nggak bisa ngelepas Hayi sama bocah yang masih belum tau ke depannya bakalan jadi apa. Saya sayang anak saya, Hanbin. Lebih dari apa pun."

"Papa bilang gitu?" Hayi angkat suara setelah diam cukup lama. "Terus ... akhirnya kamu bikin keputusan buat selesai sama aku. Keliatan, 'kan, di sini yang egois siapa?"

Dengan cepat, Hanbin menoleh ke Hayi. "Kok kamu mikirnya gitu?"

Gadis itu menggeleng pelan. Jangan sampai Hanbin melihat air yang baru saja lolos dari pelupuk matanya. "Kamu bisa ngomong dulu sama aku, bukan langsung mutusin semua sendiri. Yang ngejalanin ini 'kan kita, Bin. Bukan kamu atau aku aja."

Saat itu juga, Hanbin sadar akan suatu hal. Hayi benar. Yang menjalani hubungan ini bukan orang tua Hayi, tapi mereka berdua. Kenapa Hanbin harus merasa kalah dengan apa yang diucapkan papanya Hayi? Jika rasa sayangnya pada Hayi sebesar ini, justru harusnya Hanbin mempertahankan semuanya. Bukan malah menyerah dan bersikap pengecut.

"Jangan nangis," Hanbin berujar dengan pelan. Lelaki itu menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Hayi. Hayi tidak paham mengapa justru tangisnya makin deras ketika Hanbin memintanya berhenti.

✦✦✦

pulang ✦ hanbinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang