18

105 13 0
                                    

Naia’s pov.

“Max!” aku sontak berteriak saat melihat sosoknya menembaki zombie-zombie yang berkerumun di bagian belakang.

Akhirnya kami bertemu kembali. Tapi, dia sendirian? Dimana yang lain?.

Setelah aku selesai mengisi kembali pistolku, aku melanjutkan menembaki zombie-zombie yang mulai berkurang.

Beberapa zombie mulai berpaling ke arah max, akibatnya sekarang max di belakang mulai terkepung. Sesekali aku mengarahkan tembakanku ke belakang kerumunan untuk membantu max, dibantu oleh 2 remaja asing yang baru kutemui.

Sedangkan Shendy, Gavin, dan Vahreza, mereka terus membantai zombie-zombie dengan senjata di tangan mereka masing-masing.

“Go to hell! You damn infected!” umpat Gavin.

CRAATT!! CRATT!!.

Darah memuncrat saat ia menebas kepala zombie-zombie di sekitarnya hingga putus. Darah mengotori pedang dan tubuhnya.

“12, 13, 14” Vahreza sepertinya menghitung berapa banyak zombie yang hancur kepalanya saat ia memukulkan palu raksasanya dengan kuat.

Sementara Shendy, memanah zombie-zombie dalam diam. Tatapannya fokus, dan tembakannya tepat sasaran tanpa meleset sedikitpun.

Setelah sekitar setengah jam, kami berhasil membantai seluruh zombie yang tadinya bergerombol masuk ke dalam tempat perlindungan.

Bangkai-bangkai zombie tergeletak sembarangan di dalam, maupun di luar sekitar markas. Darah menggenang di banyak tempat bahkan memuncrat mengotori dinding dan langit-langit.

Tubuh kami ternoda oleh darah zombie dan mengeluarkan bau yang benar-benar anyir.

Padahal baru saja tadi aku membersihkan diri.

Kataku dalam hati.

Aku berjalan ke luar melewati bangkai-bangkai yang berserakan, menuju tempat Max. Aku sedikit berlari kecil saat mendekatinya. Setelah dekat, seketika aku berlari memeluknya, ku rasakan tubuhnya sempat menegang saat aku memeluknya, tetapi sesaat kemudian tubuhnya kembali normal dan ia membalas pelukanku.

“Kau jahat! Teganya kau meninggalkan diriku sendirian?!” seruku sambil diselangi isak tangis.

“Maaf, memang salahku” katanya singkat.

Tanganku bergerak naik ke pundaknya. Ada sesuatu yang membasahi pundaknya, cairan itu kental dan hangat. Dan saat aku sedikit menekannya, Max meringis kesakitan.

Instingku mengatakan kalau ini pertanda buruk. Seketika aku membalikkan tubuhnya untuk melihat pundak di bagian belakangnya.

Deg!.

Luka ini…dia…tergigit?.

mataku mulai panas dan memburam. Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku.

“Ka..kau..Max tidak!” seketika tangisku meledak.

Max tergigit. Ini tidak boleh terjadi! Aku tidak mau kehilangan dirinya. Ia sahabatku! Ini semua jelas-jelas hanya mimpi.

Mimpi.

Kataku dalam hati.

Sontak aku langsung mencubit lenganku dengan sangat keras.

“Aww!” kalimat itu menandakan kalau aku tidak sedang bermimpi.

“Naia, ini semua bukan mimpi, ini nyata” kata Max sambil kembali memelukku.

“Kenapa harus kamu?!” amarahku tidak tertahankan lagi.

“Takdir” Max mengatakannya dengan enteng seolah-olah masalah ini tidak menyangkut hidup dan mati.

“Jangan mengatakannya dengan enteng seolah-olah ini tidak menyangkut masalah hidup dan mati Max! Aku tidak mau kehilangan dirimu! Kau sahabatku!” amarah dan tangisku semakin menjadi.

“Semua orang pasti akan kembali ke pangkuan yang maha kuasa” kalimat itu terdengar sedikit bergetar saat Max mengatakannya.

Sepertinya ia sedang menahan tangisnya.

Aku tidak sanggup berkata lagi. Tangisku semakin lama semakin menjadi.

Aku…tidak ingin kehilangan Max. Setahun bersahabat dengannya, menumbuhkan perasaan lebih dari sekedar sahabat. Ya, aku memang mencintainya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Hehehe di chapter ini author buat ada romancenya, walaupun berakhir dengan tragis 😭
Keep reading my story ya 😁
Jangan lupa vote 😉

3012Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang