Part 1 - Rafflesia Arnoldi

22 1 0
                                    

Hai! Namaku Natalia, kau bisa memanggilku Natalia. Apa? Nama lengkapku? Tidak ada nama lengkap. Namaku hanya Natalia, itu saja. Senang bertemu denganmu!

Aku sangat senang kalau kau mau membaca ceritaku ini, tapi tolong bacalah sampai akhir agar kalian tidak salah menyimpulkan kehidupanku. Menurutku kisah nyataku ini sangat unik. Kenapa? Karena biasanya kalian akan menemui tokoh utama sebagai tokoh protagonis yang menarik tapi tidak dengan kisahku. Sebenarnya ceritaku memang menarik sih tapi aku bukanlah protagonis... aku adalah seorang antagonis.

Yeah... jika kau bertanya demikian, aku akan menjelaskannya tapi tidak untuk sekarang, mungkin nanti secara bertahap. Jadi, mohon bersabar, oke?

Sebenarnya aku tidaklah jahat tapi kondisi dan himpitan dunia inilah yang memaksaku berbuat begini, ironi sekali bukan? Ya, tidak usah terlalu banyak kata-kata pembukaan yang harus kutuliskan, so here we go! Inilah kisahku akan kumulai dari latar belakang dan kondisiku dahulu, semoga kau menyukainya.

Baik, seperti yang kukatakan tadi, namaku adalah Natalia, ingatlah itu! Usiaku baru delapan belas tahun. Di usia sekarang, aku seumpama bunga mawar yang baru mekar, sedang dalam kondisi indah-indahnya. Bukankah masa remaja adalah masa yang paling indah dan menarik? Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Aku ibarat bunga bangkai yang baru mekar. Orang-orang bilang, aku adalah anak yang cantik tapi kemiskinan membuat kecantikanku terhambat dan jadilah aku menjuluki diriku sendiri dengan istilah bunga bangkai atau Rafflesia arnoldi.

Aku tinggal di Oxoine, kubu adidaya yang selalu bermusuhan dengan kubu Falcon. Dan aku tinggal sendirian karena orang tuaku sudah meninggal, itu kata orang-orang lho karena melihat orang tuakupun aku tak pernah. Mungkin sebenarnya orang tuaku tidaklah meninggal, itu hanyalah berita bohong yang orang-orang sekitarku katakan untuk menghiburku. Aku adalah anak yang dibuang! Itulah yang sebenarnya.

Bahkan orang tuaku pun sudah tidak menginginkanku sejak aku lahir. Aku diasuh dan dibesarkan di panti asuhan tapi aku tidak kerasan di sana dan memutuskan untuk lari di usiaku yang ketiga belas, usia di mana kita sedang nakal-nakalnya.

Aku lari tanpa pikir panjang sehingga yah... aku hidup menggelandang. Rumahku tidak pasti, kadang di apartemen-apartemen yang belum selesai dibangun, di kios-kios pasar, dan paling sering di rumah kosong yang sudah berlumut. Mengenaskan sekali. Makan pun juga sama mengenaskannya, kadang aku mengais-ngais tempat sampah di kedai fast food-mengambil sisa-sisa makanan dari orang-orang yang tidak bersyukur karena mereka tidak menghabiskan makanannya-atau restoran Jepang di pinggir jalan sana. Pernah juga ada orang yang memberiku makanan secara cuma-cuma karena rasa iba, atau lebih tepatnya mereka ingin aku berhenti mengais sampah di depan rumah mereka. Tapi disegala keterbatasan dan kemiskinan yang melilitku ini, aku tetap bersyukur dan tidak pernah mencuri. Tuhan selalu mencukupi kebutuhanku, Dia menyediakan tempat tinggal dan makanan bagiku, juga aku tak pernah sakit walau hidup agak jorok, bukankah itu suatu keajaiban?

Aku hidup terlantar bersama para remaja lain yang bernasib buruk sepertiku, meski begitu merekalah yang pada dasarnya mengajariku bertahan hidup di dunia yang kejam ini, mereka mau menerima dan menjagaku ketika aku pertama kali datang pada usia tiga belas tahun. Tidak ada yang membedakan aku dan anak-anak jalanan itu, tapi aku sedikit istimewa daripada mereka-ada sedikit perbedaan di antara kami-yaitu aku dianugerahi kecantikan alami dan kepintaran, ya... benar walaupun aku tidak sekolah, aku anak yang cukup pintar, bahkan amat pintar. Aku memiliki orintasi ke depan, rencana-rencana matang untuk mengubah hidupku dan memperindah masa depanku. Aku sudah menabung sejak aku tinggal di panti asuhan di jalanan protokol kotaku dulu dan masih kulanjutkan sampai sekarang. Aku tak pernah menghitung uang tabunganku yang sudah menggunung-membuka celengannya saja aku tak pernah. Aku hanya akan membukanya sebagai modal untuk usahaku di masa depan dan aku terus bekerja untuk memperbanyak tabunganku.

Bahkan jika aku ingin membuka uang tabunganku di 67 celengan plastikku, aku bisa membeli rumah sederhana dan segala furniturnya! Ya, aku tak bercanda tapi aku tidak ingin membelanjakannya. Aku masih suka tinggal bersama kakak-kakakku di sini, hidup saling tolong-menolong karena kesamaan nasib yang menimpa diri kami. Lagipula aku tidak ingin menghabiskan uang tabunganku bertahun-tahun hanya untuk membeli rumah dan perlengkapannya saja, itukan untuk masa depanku! Yah, meskipun aku agak kaya, kakak-kakakku-aku menyebut anak-anak jalanan yang menerimaku dengan sebutan 'Kakak' karena usia mereka semua lebih tua dariku-tak pernah mengetahuinya.

Meskipun aku memiliki kecantikan alami, aku sering dijauhi orang asing. Ya, karena aku bau dan dekil. Mau bagaimana lagi? Aku selalu mengais-ngais tempat sampah dan hanya memiliki sedikit pakaian yang sudah kusut, sekusut benang yang dibuat mainan oleh kucing. Mereka selalu memandangiku jijik dan langsung menjauh jika aku berada pada radius lima meter di sekitar mereka. Perilaku buruk masyarakat ini tidak hanya ditujukan padaku tetapi pada anak-anak lain juga yang sama dekilnya denganku, para bunga bangkai yang baru mekar itu.

"Na? Ayo makan!"

"Eh?" Aku tersadar dari lamunanku dan memandang salah satu Kakakku-Diego.

"Cepatlah atau yang lain akan menghabiskannya," dia membantuku berdiri atau lebih tepatnya menyeret tanganku.

"Aku tidak lapar," kataku lesu. Meski demikian aku tetap mengikutinya menuju segerombolan orang yang sedang menunggu kami sambil mengerubungi bungkusan makanan di lantai.

"Tapi kau harus tetap makan. Di sini kaulah anak yang paling lemah jadi kau perlu asupan gizi yang lebih."

Selalu begitu, mereka selalu memprioritaskan aku. Mereka tidak akan menyentuh makanan sebelum aku mendapatkan bagianku. Mereka peduli, menjaga, dan memperhatikanku sejak aku pertama kali bergabung. Kakak-kakakku, mereka benar-benar baik.

"Tapi akukan paling cantik," kataku mencoba bergurau.

"Itu karena di antara kami, kau adalah anak perempuan sendiri, bagaimana kau tidak mau paling cantik?"

"Yah!" Aku memukul lengannya. Tapi kata-katanya benar juga lalu kenapa aku harus marah? Hah... maklumi saja, aku perempuan, mudah emosional terutama ketika mendekati masa datang bulan.

"Ini milikmu," Ethan-kakakku yang paling tua menyodorkan bungkusan makanan padaku ketika kami sampai.

"Kenapa banyak sekali? Kalian selalu memberi bagian yang banyak untukku, aku tak akan bisa menghabiskannya sendirian."

"Apa kau sedang diet?"

"Bukan begitu, hanya saja..."

"Aishh... sudahlah. Kami mendapatkannya susah payah, kau harus menghargainya!" cerocos Samuel. Hiih... si Kuda Nil itu benar-benar.

"Sekarang duduk dan makan!" Diego mendorong pundakku ke bawah.

"Hump," aku tak bisa berkutik.

Aku memandang bungkusan makanan itu, meremasnya, dan menangis. Mereka bahkan memberiku porsi yang lebih banyak untukku dengan menu makanan yang paling enak yang mampu mereka peroleh setiap hari. Perhatian mereka selalu berlebih untukku.

"Sudah jangan menagis, aku akan tetap menikahimu meski kau gendut."

"Dia menagis karena kau ingin menikah dengannya, bodoh."

"Hei! Aku lebih baik daripada kau, Kuda Nil."

Kami semua tertawa. Mereka itu benar-benar. Setelah itu kami mulai membersihkan dan membuang bungkusan makanan lalu pergi tidur. Kami baru bisa makan ketika malam sudah larut sebab restoran Jepang dan kedai fast food itu tutup ketika malam hari sehingga kami baru bisa mengais-ais makanan. Hari ini kami beruntung sebab aku, Ethan, Diego, dan yang lain memperoleh uang karena membantu warga membersihkan selokan sehingga kami bisa membeli makanan yang lebih layak dan bervariasi.

Saat ini kami tidur di emperan toko yang tutup sebab rumah berlumut yang semula kami tempati sudah dihuni oleh pemiliknya yang baru dengan kata lain kami terusir. Aku mendapat tempat tidur paling tengah-selalu begitu-dengan selimut paling tebal yang kami punya. Alasan mereka memperlakukanku begitu adalah supaya aku tidak kedinginan dan tidak digigit serangga.

Mereka selalu melindungiku. Aku tersenyum dalam tidurku masih dengan mata yang sembab dan hidung tersumbat bekas menangis tadi. Ya... aku punya hidup yang baik dengan kakak-kakakku. Aku sudah merasa cukup memiliki mereka. Aku berharap kami akan terus seperti ini dan selalu melindungi. Tapi harapan hanyalah harapan belaka. Orang-orang jahat itu... mengambil segala yang kupunya. Mereka merenggut kakak-kakakku dariku.

Change the WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang