[1] Anti normal

135 22 1
                                    

Didedikasikan untuk PenerbitHaru

***

Nama gue, Jackson. Tahun ini gue baru menginjak lantai kelas sebelas. Bukan artinya selama gue sekolah di sana, gue nggak pernah nginjek itu lantai. Maksudnya, sekarang gue udah benar-benar menjadi siswa kelas sebelas.

Ngerti 'kan?

Enggak, yaudah.

"Abang! Cepet turun! Udah jam berapa ini?!" teriak Bunda dari lantai bawah. Kok, gue ngerasa kaya cowok gemes gitu ya karena panggil nyokap itu 'Bunda'?

Ah, taulah.

Seperti rutinitas biasa, gue turun tangga. Dan di bawah sudah di sambut dengan Bunda sama Ayah yang duduk di sofa keluarga.

"Gimana, bang hari ini?"

"Belum, bun. Abang belum jadi apa-apa."

Bingung 'kan?

Sama, gue juga.

Jadi, gini. Mungkin ini terdengar nggak normal dan aneh banget. Tapi percaya nggak percaya, gue itu adalah anak dari sepasang penyihir.

Ya, bunda dan ayah itu penyihir. Tapi anehnya, dari gue orok sampai sekarang gue belum menemukan bakat sihir gue.

Gue masih jadi anak remaja biasa! Dan yang lebih menyakitkan ulu hati, adek gue yang umurnya baru lima tahun udah bisa melayang-layang atau nggak nerbangin barang.

'Kan sakit hati gue. Masa kalah sama anak lima tahun?

"Yaudah, mungkin besok." itu kata ayah. Dia asyik aja baca koran sambil minum kopi. Emang kelihatan biasa kalau buat orang lain. Tapi jadi nggak biasa kalau sama ayah gue.

Yaiyalah, orang kopinya bisa melayang sendiri ke mulutnya. Jadi nggak perlu capek-capek gerakin tangan buat ngambil cangkirnya.

Hah, andai gue bisa sihir. Itu akan sangat berguna untuk orang mageran kaya gue ini.

Bunda gerakin tangannya ke atas, lalu muncullah piring terbang.

Bukan. Maksudnya bukan ufo yang isinya makhluk ijo kaya tuyul. Tapi memang beneran piring terbang. Isinya nasi goreng yang bakal masuk ke perut gue.

Saat gue lagi enak-enak makan, adek gue selalu ganggu dengan terbang ngelilingin gue. Kayanya di rumah ini yang normal cuma gue. Atau bahkan gue yang nggak normal? Keturunan penyihir, tapi nggak bisa sihir. Menyedihkan.

Setiap pagi, bunda sama ayah selalu nyuruh gue menjalani beberapa tes. Yaitu, naik ke atas lemari baju. Terus lompat. Kalau hari itu gue udah jadi penyihir, maka gue akan terbang dan nggak akan jatuh.

Tapi sayangnya, gue belum juga jadi penyihir. Dan akhirnya, badan gue lah yang remuk. Bahkan tangan gue pernah patah gara-gara itu.

Mengenaskan.

"Bun, abang pergi sekolah dulu."

Dan selesai lah rutinitas pagi gue di rumah. Saatnya menjalani kehidupan normal di sekolah. Layaknya anak laki-laki tampan yang lainnya.

Ajegile.

...

Menjadi pusat perhatian sudah biasa bagi Jackson Pradipta Cahya. Bukannya sombong, nih ya. Tapi kata orang sih, muka gue ini pantes-lah kalau jadi bintang film. Sebelas dua belas sama Chris Evans gitu.

"Oy, Jack!"

Dari arah barat daya, tiba-tiba muncul Si biang rusuh, Nando. Kalau dia bukan temen gue, udah gue kameha-meha dia. Kadang gue suka nyesel temenan sama dia. Karena image gue sebagai cowok baik hati nan polos, rusak begitu saja dengan kehadirannya yang terkenal sebagai penikmat film biru sejati.

Maafkan temanmu ini, Bro. Jackson itu memang anak yang jujur dan rajin menabung.

"Lu tau nggak?"

"Nggak, lah."

"Gue belom ngemeng ini..."

"Oke, lanjutkan..." gue manggut-manggut ganteng.

"Tadi... Di kelas... Ada..."

"Buruan, anj-"

"Oke, oke... Tadi di kelas ada anak baru. Dan lo tau apa?"

Alis gue keangkat sebelah.

"Dia penyihir!!"

***

Kisah Jackson : Bimsalabimbim!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang