32. The Explosion
Saat berbalik menghadap pemuda yang memanggilnya, Megan mengepalkan tangannya kencang. Seperti mencari pegangan untuk berdiri.Dan Owen sendiri tak menyangka bisa menemukan Megan di tempat ini.
"Meggy?" ucap Owen membulatkan mata.
"Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau bersekolah di sini?" tanya pemuda di depan Megan. Yang sedari tadi sudah melepas helm pelindungnya.
Keduanya shock. Tentu saja.
Bagi Megan, Owen berdiri di hadapannya adalah hal yang tak ingin dialaminya lagi.
"Meggy," Owen berkata, maju selangkah. Wajahnya dirundung sendu saat melihat Megan mundur dua langkah.
"Banyak hal. Banyak hal yang seharusnya aku katakan padamu." Tangan Owen terangkat ingin menyentuh lengan Megan, tapi gadis itu mundur kembali.
Saat kesadaran Megan kembali. Saat ingatannya tertuju pada peristiwa disiramnya ia dengan ice bucket, Megan berucap dengan sedikit kasar. "Kau, siapa?"
Mendengar itu, Owen mengerutkan dahi dalam. Perasaan seperti ini pernah ia dapatkan ketika menemani Megan melewati pemakaman ibunya dulu. Ia ditolak. Padahal gadis itu begitu berarti bagi dirinya. Ia sahabatnya.
Owen ingin menjelaskan sesuatu.
Namun banyak hal yang berubah pada diri gadis itu. Seperti bukan Megan yang dulu.
Mereka sudah menjadi tontonan bagi siswa lain yang ingin keluar stadion. Megan berbalik ke arah lapangan, menemukan di sana teman-temannya masih bersorak girang di tengah lapangan.
"Meggy," panggil Owen. Tapi perjumpaan mereka harus diakhiri karena pelatih Owen memanggil anggota tim mereka ke ruang ganti.
"Maaf, tapi sepertinya aku tidak mengenalmu," ucap Megan dingin.
Tapi Owen bisa melihat kening gadis itu berkerut dalam. Pertanda ada sesuatu yang ia pikirkan.
"Permisi," pamit Megan. Secepat kilat Megan berlari.
Belum beberapa jauh, Owen di belakang berteriak padanya, membuat gadis berhenti. "Aku tahu kau mengingat namaku dengan jelas, Meggy. Aku tahu itu. Dan kita akan bertemu kembali. Aku akan menjelaskan semuanya."
Tentu saja Megan mengingat semua. Tanpa kurang satu detail pun, ia bisa merekam dan mengulang lagi, semuanya.
Apa tidak cukup Owen melukainya?
Kuku-kukunya terasa menusuk telapak tangan karena ia mengepal kuat. Tanpa memberi respon, ia meninggalkan Owen di sana.
"Bedebah itu. Berani sekali!" Itu komentar Claire saat Megan berhasil menyatu dengan kelompok.
"Kau melihatnya?" tanya Megan khawatir.
"Tentu saja, silly! Kenapa kau tidak menamparnya tadi? Bodoh!" Napas Claire naik turun begitu kencang. Ia menatap tajam ke belakang Megan. Meski Megan tahu, tidak ada lagi Owen di sana.
"Tenanglah, Claire. Aku bisa menghadapi ini. Aku tahu suatu hari aku akan bertemu dengannya lagi."
"Tapi di saat kau tahu akan hal itu, kau tidak memikirkan cara untuk membalasnya, huh?"
Megan menghela napas dalam. Claire benar-benar marah hingga lupa kalau mereka sedang berada di kerumunan orang. Untunglah Diana datang menyela.
Bukannya Megan tidak ingin membalas dengan cara yang keras. Tidak ada gunanya. Ini caranya menguatkan diri. Dengan melupakan Owen.
"Hey. Kenapa serius sekali? Ada apa?" tanya Diana polos lalu menghadap Megan yang berdiri kaku. "Hey, baby Meg. Ternyata kau mengenal pria bernomor 8 itu rupanya. Kau itu benar-benar..." Diana berdecak.
Claire langsung menghadiahi Diana tatapan mautnya. "Jangan coba-coba mengatakan hal itu di depanku, Dee. Pria itu bedebah keparat!"
Hanya itu, dan Claire berjalan cepat ke arah ruang ganti. Meninggalkan Megan, Diana dan Steph yang bingung.
"Perempuan itu kadang sulit dimengerti, ya?" komentar Diana.
"Kau lebih parah dari perempuan, Dee," ucap Steph di samping. Membuat Diana memberengut lalu tertawa histeris.
"Ayo, kita tunggu Claire di mobil. Katanya ia mau mengajak kita makan enak," ucap Diana yang menarik Steph menjauh dari tengah lapangan. "Ayo, Megan. Jangan diam saja."
Perasaan Megan tidak enak. Ia mencari sesuatu dan benar saja, dari arah belakang ia melihat Dave mendekat ke arahnya dengan wajah yang tidak bisa diartikan.
"Dia," ucapnya saat berada di dekat, melihat wajah Megan. "Owen, sahabat yang kau maksud itu?"
Wajah Megan berubah pucat. Darimana Dave tahu kalau Owen itu sahabatnya dulu. Setahunya, ia tidak pernah mengatakan sesuatu tentang peristiwa di masa junior high nya dulu kepada pria itu.
21092017
With Love
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Feelings (Semua Orang Punya Luka)
Short Story#TrueShortStory Some feelings are left unsaid. Megan dan Owen adalah sahabat sejak kecil. Saat hubungan mereka semakin akrab, Megan yakin menyukai Owen, secara diam-diam. Ia menyimpan rasa sukanya itu untuk waktu yang lama. Tapi sayang sekali, sahab...