"Dokter Meliza, ponselnya bunyi."
Aku hanya melirik sekilas seraya melambaikan tangan pada Intan, suster asistenku, memintanya agar tak perlu memedulikan bunyi ponsel itu. Aku dan empat orang anak koas-ku sedang butuh konsentrasi tinggi, malas rasanya beranjak dari posisi duduk saat ini. Kami sedang berdiskusi kasus percobaan bunuh diri dengan memotong urat nadi di pergelangan tangan yang menghebohkan seantero IGD malam tadi.
"Tapi ini dari Dokter Ron," lanjutnya lagi.
Diskusi yang akan selesai dalam satu helaan napas terpaksa kutinggalkan. Kulepas kaca mataku dan kuletakkan di atas kepala. Aku menatap satu per satu juniorku, tampaknya tak ada yang keberatan kalau kutinggal sejenak menjawab telepon dari Ron, tunanganku. Bergegas kuraih ponsel dari tangan Intan.
"Hey... Honey!" Sapaku buru-buru.
"Hey, sweety. Apa kabar?"
"Kangen," jawabku berbisik manja. "Kamu di mana?"
"Maunya di mana?" godanya.
"Eh, oh... Maksudnya?" Dan tiba-tiba sosok tinggi tegap dengan kemeja marun kesayangannya membuka pintu ruanganku, memamerkan senyum termanis yang sedang sangat kurindukan. Kepalaku mendadak penuh. "Sayang, katamu baru pulang besok. Kok..."
Ron nggak membiarkanku terus bicara, ia menarikku ke dalam pelukannya dan mendaratkan ciuman di keningku. Aku membeku, membiarkannya semakin erat memeluk. Aku sungguh menikmatinya, tapi, "Ron, semua orang melihat kita." Ron tertawa, buru-buru melepas pelukannya.
YOU ARE READING
Seribu Bangau Kertas
Short StorySetiap kisah punya cara masing-masing untuk menemukan takdirnya. Tak ada kisah tanpa makna, karena ada seribu harapan dalam tiap episodenya.