Sebelum tanahmu menjadi kenangan, aku ingin menciptanya dalam tulisan. Kupijakan bahasa dalam tarian, dalam gumam atas apa yang kita rekatkan. Pada pertemuan, kesenangan, perpisahan, dan debur ombak yang perlahan datang. Seperti juga lautmu yang biru, kapal-kapal di pelabuhan, pasir hitam Sulamadaha; ombak menggapai-gapai, angin mengurai lembut rambutmu.
Ai nona, semua berlalu sangat cepat, menggores kenangan dan tanahmu membingkiskan rindu yang mengepal jantungku. Kita pernah bercakap dalam banyak kata-kata, soal cita-cita yang ingin kau gapai. Senja di pantai Kastela seolah membias percik tawamu, adakah mungkinnya semua terulang?
Angin menggemuruh. Laut tetaplah laut, waktu adalah takdir yang terus berjalan. Pada pagi hari menjelang kepergian aku berkata padamu, "jangan merindukanku saat aku pergi" –kau bilang, "kenapa begitu?". Ai nona manis, simpanlah saja puisiku, kenangan atas alamat yang tersemat di sana. Bila suatu nanti nona berkunjung ke kotaku, jangan lupa ada namaku di ponselmu. Sesungguhnya aku ingin nona merindukanku.
Ternate, 28 – 29 Oktober 2011