Pada masa seperti ini, dimana langit liar meluruhkan butiran salju yang membawa dingin luar biasa, terlebih lagi bagi perantau seperti Thomas dan Sony. Mereka sama-sama memahami bahwa bercengkrama dengan teman senasib adalah salah satu hal yang mampu menyumbang kehangatan bagi mereka berdua. Selayak lupa waktu, kedua pria itu bercengkrama sedari pagi hingga jam dinding membentuk sudut yang bertengger di angka tiga.
Hari beranjak senja. Bahkan, meskipun baru saling mengenal, mereka tak ubahnya bagai sohib lengket yang terpisah semenjak ribuan tahun silam dan bertemu kembali lewat setitik celah di tengah waktu. Kini, langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu kaca.
"Sering main-main kesini ya!" Ujar Sony sembari meremas pundak Thomas.
"Iya, insyaallah." Balas Thomas sambil mengangguk ringan. Tiba-tiba saja perhatian Thomas berpindah bersamaan dengan datangnya seusatu dipinggir jalan, taksi.
"Eh, itu taksinya sudah datang!" Thomas tersenyum girang.
"Oh, iya. Pokoknya hati-hati dan di jaga kesehatannya ya." Ucap Sony menasehati.
Sebuah jempol dan senyuman mantap membalas nasihat Sony, setelah itu lelaki muda tersebut berlari kecil menerobos butir salju untuk menghampiri taksi pesanannya itu. Untunglah Thomas hanya masih memasukkan tasnya kedalam taksi, karena beberapa detik kemudian bayangan Sony tampak melambaikan tangan sambil meneriakkan nama Thomas. Melihat gelagatnya, Thomas menjadi bingung.
Sony melenggang masuk ke dalam gedung kemudian keluar dengan tangan yang sudah menjinjing sebuah bingkisan. Lalu, pria berbadan tambun itu berlari menghampiri Thomas.
"Untunglah belum terlambat. Ini Tom, ada bingkisan buat kamu." Tukas Sony sambil menyerahkan bingkisan tersebut."Bingkisan dari siapa, Son? Perasaan, belum ada yang kenal Thomas di sini." Bingung menghinggapi hati Thomas.
"Oh, ini sebenarnya oleh-oleh dari jamaah ibu-ibu muslim yang berkunjung ke sini sekitar enam bulan lalu. Di sini tidak ada yang memakai. Jadi kan sayang kalau tidak di gunakan." Ujar Sony.
Mendadak Thomas merasakan letupan kegembiraan yang meletus di dadanya. Rupa-rupa benda elemen parsel tersebut membawanya kembali kepada kenangan yang ada di Jakarta. Ia teringat, ketika Ummi memberikan hadiah peci ketika masih berumur enam tahun.
"Wah, terima kasih banyak ya."
Lagi-lagi, tawa kembali mengisi udara di sekitar mereka. Setelah keduanya saling menjabat tangan, Thomas memasukkan badannya ke dalam taksi. Dari kaca jendela ia berkata "Sampai bertemu kembali, Sony." Lalu, Pria tambun itu membalas dengan lambaian tangan.
Deru mobil mulai melenguh. Pertanda bahwa akan ada kehidupan asing dan perjalanan baru yang akan di mulai. Thomas menoleh kebelakang, melihat ke arah sosok Sony yang semakin mengecil akibat sesuatu yang menjauh.
Matanya terpatri ke luar, menikmati pemandangan pepohonan beringin kurus yang berbaris di trotoar, sementara serpih salju menutupi sebagian permukaannya. Akibat rute perjalanan yang panjang, serta energi yang terkuras banyak, pun perjalanan di penuhi rasa kantuk yang dahsyat mendera. Oleh karena itu, perjalanan dari rue Cotambert meuju rue Viala ia lewati dengan mata terpejam sepenuhnya.Akhirnya, roda itu berhenti berputar. Menempatkan Thomas kepada sebuah tempat yang menjadi tujuannya.
"Tuan, perjalanan anda sudah selesai." Tukas Pak Sopir sambil menepuk-nepuk kaki Thomas. "Tuan, bangun Tuan."
Thomas segera terbangun dari tidur singkatnya. Dengan sisa rasa malu akibat ketiduran tadi, Thomas bertanya kepada si Sopir.
"Ongkosnya berapa?" Ucap Thomas menggunakan bahasa Perancis.
"10 euro."
Mendengar kata tersebut, beberapa lembar uang kertas ia keluarkan dari dompet.
"Terima kasih." Ucap Pak Sopir itu sambil tersenyum. "Anda mau kemana?"
"Saya mau berjalan-jalan dulu di Paris." Jawab Thomas tersenyum lebar. "I got the scholarship!" imbuhnya berbagi rasa syukur.
"You're great. Have a nice journey here." Ucap Pak Sopir itu dengan riang.
Akhirnya, taksi kuning itu meninggalkan Thomas yang mematung bersama tas-tasnya. Di antara pejalan kaki, Thomas berusaha dapat menikmati perjalanannya kali ini. Sedari awal dirinya tak pernah berhenti berdecak kagum terhadap bangunan berarsitektur menawan, ikon-ikon kota yang memukau, juga alam ciptaan Tuhan yang menjadi sumber nikmat bagi setiap insan. Aroma roti menggantung di udara. Membuar sensor lapar Thomas menjadi lebih sensi ketimbang biasanya. Dari jauh, ia melihat seorang pemusik jalanan yang beraksi sambil menggesek sebuah biola. Thomas mendekat, memenuhi celah kosong dari gerombolan yang terbentuk otomatis oleh pengunjung yang datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Well Sunshine in Paris
RomanceCinta kami sederhana... Yang hanya membutuhkan sebuah kejujuran, ketulusan, pengorbanan dan kepercayaan. Karena kami saling mencintai bukannya untuk saling menguasai.