Suara pijakan kaki yang menyentuh tanah terdengar saat laki-laki itu turun dari tembok penghalang sekolahnya. Ia melihat kiri-kanan, kemudian sedikit meringis saat rahangnya terasa sakit ketika ia melakukannya.
Cowok itu kemudian berjalan dengan santainya saat mengetahui situasi aman terkendali. Dandanannya sangat urakan. Kemeja seragam yang dikeluarkan, lebam dimana-mana, dan juga rambutnya yang acak-acakan. Tasnya ia sampirkan disalah satu bahunya, terlihat sekali bahwa ia bukan anak tertib aturan.
Langkahnya terhenti, bersamaan dengan sepasang mata yang menatapnya tanpa ekspresi dikoridor. Cewek itu, hanya meneruskan jalannya, kemudian berhenti saat dilihatnya seorang cowok nampak terluka dan kacau.
Cowok itu mendesis. "Sial." rutuknya. "Gue ketahuan," katanya, kemudian menatap si cewek dengan tajam, berharap cewek itu takut dan akan lari terbirit-birit.
Namun, yang didapatkannya jauh dari perkiraan. Cewek itu melangkah mendekat, kemudian menunjuk wajah tampan milik si cowok yang terdapat beberapa lebam. "Lo luka," katanya, sambil memperhatikan luka yang masih baru bersarang diwajah tampan cowok itu.
Diam. Hanya itu yang dapat dilakukan cowok itu dengan kejadian tak disangkanya. Bagaimana mungkin seorang cewek yang melihat wajah sangar sekaligus lebam dari orang asing malah tidak takut?
Ia jadi tertarik. Makanya, dia hanya diam, menunggu apa yang akan dilakukan cewek itu. Melaporkannya? Menertawainya? Atau hanya berlalu?
Cewek itu akhirnya menyelipkan tangannya disaku rok span abu-abunya, kemudian mengeluarkan sebuah plester. Tangannya terulur kedepan, mengulurkan plester pada si cowok. "Ini buat lo," katanya, kemudian mengangkat tangan kirinya yang bebas untuk memperlihatkan jari telujuknya yang diplester pada cowok itu. "Tadi gue luka, dan banyak keluar darah. Lo tau? Banyak kursi usang yang pakunya pada mencuat. Jadi deh paku itu kena jari gue dan berdarah. Jangan lo kira gue lebay, tapi, darahnya emang keluar banyak. Gue cuma butuh satu plester. Tapi, karna plesternya cuma lima ratus rupiah doang, gue jadinya beli dua. Kan jaman sekarang malu kalo jajan kembalian gope," katanya, kemudian menurunkan tangan kirinya. "Nih, buat lo. Gue tau ini gak ngefek. Tapi ..., buat jaga-jaga bisa, kali."
Cowok itu hanya memperhatikan plester tersebut. Terpaku disana dengan tatapan mata tidak percayanya. Satu plester? Bagaimana bisa? Luka yang dimilikinya bahkan lebih banyak dan lebih lebar. Satu plester tidak akan berpengaruh besar bagi dirinya. Namun, tangan cowok itu akhirnya ikut terulur, menggapai plester, dan menatapnya lama.
Cewek itu tersenyum, kemudian menepuk bahu si cowok dengan akrab. "Gue gak tau lo angkatan berapa. Gue anak kelas satu disini. Baru masuk SMU Flashood, dan juga cewek kutu buku. Sori kalo gue sok kenal sok deket. Kalo gitu ..., gue pergi dulu, ya!" ujarnya, kemudian berlalu melewati cowok itu.
Si cowok berbalik, menatap punggung yang menjauh itu dalam diam, kemudian menatap plester itu.
Ia ..., tertarik.
Tertarik oleh cewek itu, juga ..., tertarik dalam kegelapan seolah ia jatuh ke dasar jurang yang dalam.
.
..
...Jo berjengit pelan, dan langsung membuka matanya dengan cepat. Matanya menyimpit saat silau dari lampu memenuhi penglihatan matanya. Ia terdiam. Terpaku pada mimpi tadi, juga terpaku pada apa yang dialaminya saat ini. "Gue ..., tidur?" tanyanya, lebih kepada diri sendiri.
Ya. Mengapa ia bisa tidur? Dan lebih tepatnya ..., mengapa ia bisa tidur dengan lelap padahal ia tak membawa obat tidurnya?
Jo menggeleng seolah menjawab pertanyaan yang ada diotaknya. Dan saat itulah, ia merasakan sebuah pergerakan disampingnya. Ia segera menoleh, dan mendapati wajah Vany dengan mata yang tertutup rapat disampingnya, tepat dipelukannya.
Jo tersenyum, merasa mimpi buruknya hilang karna cewek yang kini terlelap dipelukannya.
Ya, Jo sering mimpi buruk.
Ia tak bisa tidur tanpa minum obat setelah kejadian itu.
Kejadian yang menewaskan ayahnya.
Kejadian yang membuat ia membenci ibu kandungnya.
Jo kemudian menghela napas panjang, dan memeluk tubuh mungil yang meringkuk dalam pelukannya. Tubuh Vany terasa panas saat berada dalam pelukannya. Jo mengeratkan pelukannya. Dan saat itulah, ia menyadari satu hal.
Panas?
Tubuh Vany panas?
Jo langsung melepaskan pelukannya, dan menatap wajah pucat Vany. Punggung tangannya terulur, menyentuh kening gadisnya. Dan benar. Panas.
"Van?" tanya Jo dengan nada cemas yang kentara. "Vany? Coba bangun, deh."
Mata Vany mengerjap terbuka, dan langsung mengarah pada wajah Jo. "Jo?" ujarnya lemah. Dan Jo baru sadar, jika tangan Vany menyentuh dada. "Sesek, Jo. Gue gak bisa napas." katanya dengan nada tertahan dan sedikit terputus.
Jo panik. Ia langsung terduduk dikasur, dengan tangan yang berada dibahu Vany. "Mana?! Mana inhealer lo?"
"Tas," singkat, pelan, dan lemah. Vany memejamkan matanya, berusaha membuatnya bisa bernapas dari hidung walaupun terasa berat. Kepalanya pusing berat akibat pasokan udara yang berkurang.
Jo dengan panik meloncat dari kasur dan langsung menyambar tas sekolah Vany yang berada di meja belajar. Dengan cepat, ia mengobrak-abrik tas Vany, dan mengeluarkan seluruh isinya. Melihat benda yang dicarinya jatuh dilantai, Jo langsung memungutnya dan kembali ke tempat Vany. Ia langsung menempatkan benda itu di tangan Vany, dan gadisnya langsung menggunakannya dengan cepat.
Jo kan tidak bisa menggunakan inhealer, jadi, ia langsung memberikannya pada Vany.
Jo menahan napasnya sambil memperhatikan gerakan Vany. Apa berhasil? Apa butuh udara yang lain? Napas buatan, misalnya.
Namun, saat dilihatnya Vany menjauhkan inhealer dari wajah, kemudian terkekeh, Jo langsung bernapas lega.
"Lo buat gue khawatir."
Vany terkekeh kecil, kemudian menyimpan inhealer di nakas, tepat di samping lampu tidur. "Sori deh," katanya, kemudian menghela napas panjang.
Jo memperkatikan Vany dengan lekat. "Ada apa? Kenapa bisa tiba-tiba gitu? Lo ada pikiran?"
Vany menatap pada Jo. Tersenyum, cewek itu kemudian menggapai tangan Jo dan menggenggamnya, membuat cowok itu harus berlutut untuk dapat membalas tatapan Vany. "Apa ..., lo udah mutusin Euis? Dan, hubungan kita saat ini ..., apa?"
Jo menelan ludah, merasa bersalah karna ternyata, dirinyalah penyebab penyakit Vany kambuh.
Cewek itu terlihat menyadari perkataannya. Ia gelagapan. "Mak-maksud gue ...," Vany kehabisan kata-kata. Ia mengerjapkan matanya dengan gugup. "Jo, lo tau i-itu gak berpengaruh, kan? Ka-kan ka-kalo gue kambuh, itu karna stress banyak pikiran selama beberapa hari--"
"Gue minta maaf ...," kata Jo, memotong perkataan Vany. Tangan cowok itu terangkat, mengusap lembut rambut Vany yang basah oleh keringat. "Gue minta maaf. Gue tau, akhir-akhir ini, setelah lo punya rasa sama gue, lo sering kepikiran dan murung."
Vany menggeleng, kemudian menunduk. "Enggak. Ge'er banget, lo."
"Van, gue liat lo," kata Jo, kemudian menghela napas panjang saat Vany menggeleng. "Gue merhatiin lo dari jauh, Vany."
Vany mengangkat wajahnya, menatap Jo tepat dimanik mata. "Banyak yang ada pikiran gue sekarang, Jo. Dari tentang UN yang bentar lagi, tentang lo, dan tentang ketakutan gue sama Fares."
Jo kembali menghela napas panjang. "Berapa kali, sih, gue harus bilang kalo gue bakal lindungin lo? You are mine, and I will protect you, Vany Vanilla."
"Gue percaya sama lo, tapi ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
JoVan [BADASS #2] [PROSES PENERBITAN]
Conto[Badass Series] #9 dalam short story, 28 April "Lo bisa gak sih, gak nyusain idup sempurna gue?" "Kagak." "Ngeselin." "Gue denger loh, cantik." "Lo denger gue ngomong 'ngeselin', tapi gak denger gue ngomong 'selesein'." "Denger, kok," kata Jo yang m...