0: Penculikan

20 3 5
                                    

Pada puncak tertinggi gedung itu. Seorang gadis berambut biru langit menatap kosong panorama kota satu kilometer dibawah sana. Benaknya terbang pada sosok pria berkulit gelap yang ia lihat dari hasil pengintipan agenda meeting ayahnya.  Seorang bertubuh tinggi besar dengan kacamata pilot dan rambut coklat kemerahan seperti acak-acakan.

Entah kenapa ia sering merinding melihat pria bertubuh tinggi besar dan misterius. Dari hasil curi dengar pertemuan ayahnya dengan walimiliter planet Oreville, lelaki misterius bernama Vulkan ini tidak pernah melepas kacamatanya setiap beraksi. Membuat sang gadis bermata biru ini semakin berdegup jantungnya. Penasaran.

Sementara serbuan mendadak Kelompok Mata Bayangan ke gedung itu cukup membuat keamanan yang sebelumnya dibuat ketat menjadi kacau-balau. Kelompok ini termasuk yang terbaik dalam melakukan tugas-tugasnya. Mereka tidaklah banyak. Hanya terdiri dari enam personel. Namun dengan pengalaman yang tidak bisa diremehkan.

Tugas mereka kali ini adalah menculik putri tunggal owner Perusahaan Oregan. Perintahnya sederhana: 'Lakukan! Dengan atau tanpa darah tertumpah!' Hasilnya, hanya sedikit penjaga yang ditugaskan wali militer yang selamat dalam penyergapan itu.

Demi mendengar keributan di luar. Gadis dengan rambut biru langit itu tersadar dari lamunannya. Segala pikiran berkecamuk membingungkan. 'Apakah benar apa yang dikatakan wali militer? Tentang bahaya yang mengintai ayah dan aku?' lirihnya dalam hati.

Gadis itu mengendap-endap mendekati pintu. Terseok-seok ia menyeret tiang baja yang biasa dipakai untuk memanggil pelayan. Gadis manis itu bersembunyi di sisi kiri pintu otomatis. Menunggu sang pelaku kekacauan tersebut masuk. Dan datanglah apa yang dia tunggu.

"Putri Likta. Anda harus ikut ka... Aaargh!" Seorang pria yang baru melangkahkan kaki melewati pintu geser otomatis itu, dihajar telak didahinya. Lelaki berambut pendek itu terpental kebelakang tak sadarkan diri.
Kelima temannya menoleh bersamaan. Kaget. Salah seorang diantaranya memberi kode untuk masuk kedalam. Seorang memeriksa kedalam dengan senapan siap. Sementara sisanyamenarik kawannya yang tergeletak menjauh dari tengah koridor.

Melihat kawan pengacau tadi masuk dengan senapan teracung, Likta mengayun-ayunkan tiang tadi kanan dan kiri sambil menjerit, "Janganmendekat! Hei, penjaga! Mereka ada di sini!"

Mendengar teriakan lantang Likta, salah seorang penyusup membentak rekannya yang di dalam dengan suara sopran, "Aaah! Anort, bungkam dia!"

"Ah, sial! Kenapa jadi begini situasinya!?" gerutu pria bernama Anort sembari membuka moda bius senapan dan mengacungkannya ke gadis menawan di hadapannya. "Maaf, Tuan Putri. Mau tidak mau, Anda harus ikut kami!"

Melihat pria itu mengarahkan moncong senapan kearahnya. Dengan seluruh tenaga, Likta mengangkat tiang baja itu ke bahunya dan mencondongkan tubuh kedepan hendak menyerbu orang dihadapannya.

Terlalu dekat. Terlalu cepat. Pria misterius bernama Anort tidak ada rencana menembak Likta. Hingga gadis berambut panjang tersebut dengan cepat memperpendek jarak dan mengayunkan tiang baja kearah kepalanya. Beruntung 'pentungan' mematikan tersebut berhenti sekitar lima senti dari dahinya yang terdongak pasrah. Sebilah tangan kekar menahan tiang itu di tempatnya. Likta menatap sosok yang menahan 'serangan'nya dengan raut kaget tak percaya.

"Vu-vulkan?" ujarnya tergagap.

Pria besar itu mendekat. Dengan sekali hentakan, tiang baja tadi lepas dari tangan Likta. Ia berkata, "Iya Tuan Putri. Ini Saya."

Pria betubuh tinggi besar itu memanfaatkan kebekuan Likta. Ia mengarahkan telapak tangannya ke ubun-ubun gadis itu dan mengaktifkan sebuah alat dalam genggamannya. Selubung biru semi transparan menyelimuti tubuh tinggi semampainya. Hingga tiba-tiba ia tersadar. Namun semua sudah terlambat. Rontaannya tertahan selubung misterius tersebut.

EPIK; Semesta ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang