1: Sergapan

13 2 0
                                    

Pria berotot itu berjalan diikuti ke empat rekannya. Mereka menyusuri koridor logam menuju ruang pertemuan. Koridor tersebut dilengkapi jajaran lampu panjang menerangi jalan sempit yang suram. Hingga akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Pintu besi membuka otomatis.

"Kau terlambat, Vulkan!" seru sebuah suara berat dan lantang.

"Dan tidak sesuai rencana awal," lanjut sebuah suara yang agak lebih ringan dan tenang.

"Maaf, bos. Ada sedikit permasalahan di lapangan," jawab Vulkan singkat.

Pria paruh baya bercambang lebat berbicara dengan suara beratnya, "Baik. Laporkan hal itu nanti. Sekarang, mana barang rampasan kita?"

Roni maju dari barisan. Peti yang dipunggungnya ia baringkan. Membran biru di hadapan wajah Likta memudar. Menampakkan wajah menawan gadis dengan rambut biru langit.

Pria paruh baya tadi mendekati peti. Ia setengah berlutut. Menapakkan tangan pada dahi gadis berambut biru langit tersebut. "Iha ur kam'hd 'ish dur fanatheim," gumamnya pelan.

Mata gadis itu langsung memejam erat. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Peti logam tersebut bergetar karenanya. Pria paruh baya tadi beranjak berdiri. "Kembalikan membrannya," ujar pria itu.

Roni hanya menatapnya dan bertanya agak tergagap, "A-apa yang...b-baru saja anda la...ku-kukan, Tuan Mo?"

"Lakukan, nak!" tegas pria paruh baya itu sembari berpaling.

Roni hanya bisa menurut. Tangannya mengusap permukaan peti dekat dengan puncak kepala Likta. Membran biru tersebut kembali menutup perlahan.

"Roni, bawa peti tuan putri ke ruang hibernasi," suara lembut seorang wanita dewasa memecah suasana. "Letakkan dia di sana. Dia lebih aman tertidur di sana. Setidaknya hingga kita sampai di tempat tujuan."

"B-ba ... baik, no-nona Elisa," undur Roni sembari beranjak pergi.

"Hei...hei, tunggu!" Suara pria muda terdengar menghentak. Menahan laju Roni. "Bukan kau Roni. Aku melihat ada satu peti lagi yang kalian bawa kemari."

"Yang ini adalah Jack," jawab Vulkan.

Tuan Mo tersentak. "A-apa yang terjadi?" Suaranya gemetar. "Tunjukkan padaku. Tunjukkan padaku."

"Anort," panggil Vulkan.

"Baik," jawab pria muda bertubuh ramping. Ia bergerak maju kedepan barisan. Melakukan hal yang sama seperti sebelumnya Roni lakukan. Membran di hadapan wajah rekannya memudar. Menampakkan wajah seorang yang lebih muda dari dirinya berlumuran darah.

Pria bercambang lebat bergerak mendekati peti. Ia setengah berlutut di sampingnya. Tangannya menapak pada permukaan peti. Sosok itu. Sosok yang ia sayangi. Yang ia bangga-banggakan. Yang selalu berharga bagi setiap petualangannya ke penjuru galaksi. Yang disiplin dan serius mempelajari banyak hal di usia muda. Demi meluluskan persyaratan pamannya yang bercambang lebat. Untuk bersama mengarungi samudera antariksa. Berotak brilian. Dan tak pernah surut antusiasmenya pada hal-hal baru. Dihadapannya, sosok itu tergolek lemah dengan wajah penuh darah. Dadanya bergetar menahan duka. Namun wibawa harus tetap kukuh berdiri.

"Asleigh!" lantangnya.

"Siap, Tuan Mo!" jawab seorang pria muda bersuara menghentak.

"Bawa Jack ke ruang penyembuhan!" titahnya menggema.

"Baik!" Segera pria bertubuh tinggi proporsional itu membawa peti berisikan tubuh Jack. Ia segera menghilang melalui salah satu pintu besi otomatis di ujung ruangan.

"Itu salah satu masalahnya, bos," ujar pria tinggi besar.

Tuan Mo bangkit sembari berucap, "Sepertinya banyak hal yang harus kau laporkan padaku, Tuan Vulkan."

EPIK; Semesta ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang