2: Benturan

8 1 1
                                    

"Vidia, siapkan sekoci serbu!" Seorang pria muda memberi perintah pada wakilnya.

Yang bersangkutan membalikkan badan pada atasannya. Setengah cemas, ia bertanya, "Ap-apakah kolonel serius ingin melakukannya?"

Pria muda itu setengah menoleh dan membalas, "Tentu saja serius! Apakah kau sedang meragukanku, mayor?"

"Bu-bukan begitu, kolonel," mayor wanita itu tergagap bingung. Membalas kalimat atasannya. Ia melanjutkan, "Saya tidak bermaksud meragukan anda. Hanya saja ...."

Sang atasan membalikkan seluruh tubuhnya dan bertanya singkat, "Hanya saja apa?"

Jeda sebentar sang mayor memilah-milah kata. Apa yang tepat untuk membahasakan kekhawatirannya pada sang kolonel. Dia berujar, "Hanya saja, kita masih belum tahu tentang mereka seratus persen. Banyak rumor mengkhawatirkan tentang mereka. Mengendalikan angin. Penghancur tank."

"Itu hanya rumor. Jangan dengarkan!"

"Ditambah lagi dengan peristiwa Van Narstedt. Saya tahu rencana sudah tidak bisa diubah. Ta-tapi bisakah anda menangkap mereka tanpa masuk ke sarang mereka? Kita dekat dengan Oreville. Kita bisa ...."

"Cukup! Rencana adalah rencana. Tidak bisa berubah tiba-tiba! Kecuali situasi berkata lain," ucap sang kolonel. "Dan lagi peristiwa Van Narstedt terlalu diada-adakan. Satu armada musnah berhadapan dengan satu frigat? Hahaha...!! Lelucon konyol. Sudah jelas kapabilitas komandannya dari awal. Kamu tidak perlu kuatir. Aku tahu apa yang aku lakukan. Segeralah siapkan sekocinya. Tunggu aba-abaku untuk peluncuran!"

"Baik, kolonel," jawab Vidia lemah.

Kolonel Fadzin segera beranjak dari tempatnya. Ia berhenti tepat disamping mayor mudanya. Tanpa berpaling, dia berbicara pelan, "Aku ingin kau tetap disini mengawasi Hermust."

Vidia kaget mendengar perkataan pemimpinnya.

"Bukannya aku meragukan kesetiaannya. Dia masuk kesini atas rekomendasi Aizul. Dan sepertinya mereka berdua merencanakan sesuatu terhadapku. Keadaan makin mencurigakan. Untuk saat ini hanya kau satu-satunya yang aku percayai."

Semu merah merona pada paras sang mayor. Ia menunduk untuk menyembunyikannya. Entah mengapa seperti ada koloni bunga yang berlomba-lomba bermekaran di benaknya. Dadanya terasa hangat. Dengan anggukan mantap, ia berjanji, "Akan kulakukan, kolonel!"

Sang kolonel tersenyum dan beranjak dari sampingnya. Turun dari ruangannya, berbelok dan menghilang di balik pintu otomatis besar di ruangan itu. Ini adalah ujung perburuannya. Ia telah mempersiapkan banyak hal untuk hari ini. Menangkap Kelompok Mata Bayangan adalah ambisinya sejak lama. Dengan prestasinya ini, bukan tidak mungkin ia akan diangkat pada jabatan yang lebih tinggi. Semakin dekat pada sang tujuan: Rant'zyo Xer'l, Owner Perusahaan Carviti!

***

Di buritan pesawat Kelompok Mata Bayangan, situasi semakin kacau. Seorang pria berambut pendek klimis dicecar pertanyaan oleh Anort dan Rana.

"Bagaimana ini bisa terjadi!?" tanya Anort panik.

"Kami sedang mempersiapkan lompatan hyper. Terlalu lama disini sangat tidak aman. Tapi entah kenapa tiba-tiba mesin pemadat ruang berhenti berfungsi. Energi menunjukkan penurunan yang cepat. Dan pesawat-pesawat musuh bermunculan entah dari mana," pria berambut klimis menjelaskan.

"Apakah kau tidak melihat radar sama sekali!?" tukas Rana dengan suara tinggi.

"Tentu saja melihat. Tapi memang tidak ada apapun di sekitar pesawat saat proses dimulai. Mereka benar- benar muncul begitu saja," ujar pria itu lagi.

Sementara Rana dan Anort masih ber-panik ria dengan pria klimis itu. Di sisi lain buritan, Vulkan menerawang pada kaca besar di hadapan mereka. Benaknya terbang kemana-mana. Telunjuknya menggaruk pelan dagunya yang ditumbuhi janggut tipis.

EPIK; Semesta ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang