Typo?komen aja
Inhale. Exhale.
Sejak dari rumah, Bram sudah melakukan itu berkali-kali. Bram juga tak tahu mengapa dirinya begitu gugup. Padahal hari ini bukan hari dimana ia akan ijab qabul. Duh, itu mah masih lama. Belum terencana.
Tapi hari ini dia, mama, dan papa Bram akan datang berkunjung ke rumah Nabila untuk melamar wanita itu secara resmi. Tunangan istilahnya. Walaupun tanpa cincin karena adatnya dia tak ada proses tukar cincin sebelum menikah. Tetap saja, grogi. Dia sudah mengenakan batik lengan panjang formal berwarna hitam dengan motif coklat kayu. Serasi dengan milik ayahnya. Yang Bram takutkan, nanti Nabila bingung yang mana yang akan melamarnya lagi.
"Kata opa, nanti sama oma nyusul. Dibales gimana ini?" tanya papa Bram setelah mengecek ponsel. Yang langsung ditanggapi dengan senewen oleh nyonya Miranda.
"Meh, dikira ini acara apaan? Nggak usah, pa. Udah biarin aja oma dirumah. Tadi diajak dirayu-rayu sok bilang nggak mau. Padahal ini cucu kesayangan, kok ya nggak ikut acara lamarannya. Sekarang ngomong lewat opa. Bilang aja nggak usah." kata nyonya Miranda ketus.
"Tapi opa juga pengen ikut, ma."
"Itu akal-akalan ibu kamu aja, pa. Oma gengsi ikut kita. Soalnya kemaren udah jelek-jelekin calonnya Bram di depan kita semua. Makanya alesan opa yang maksa. Udah biarin aja. Aku juga kesel sama oma. Ngomong seenaknya sendiri." mendengar itu, papa Bram hanya diam pasrah. Begitu juga dengan Bram.
Bram sendiri tak mau ambil pusing omanya turut hadir atau tidak dalam acara lamaran kali ini. Justru ada kelegaan tersendiri, takutnya oma akan terus mengucapkan kata-kata pedas di rumah Nabila. Dia tahu neneknya tidak suka cewek sederhana untuk menjadi calon turunannya. Oma selalu berpikir, mereka keluarga ningrat. Berdarah biru. Bangsawan. Jadi harus mencari yang sama derajatnya juga. Paling tidak yang berduit macam Tania. Makanya oma suka sekali dengan Tania. Itulah alasan mengapa Bram sudah malas menanggapi omanya sendiri. Biarlah. Yang penting ibu dan ayahnya memberi restu. Itu paling utama.
Mobil berhenti tepat dipelataran rumah Nabila. Nampak pekarangan rumah Nabila yang penuh tanaman itu kini dihiasi dengan tenda berwarna putih dengan aksen bunga sebagai pemanis. Juga terlihat beberapa anak kecil –mungkin ponakan Nabila- bermain riang gembira kesana kemari.
"Udah siap, Bram?" tanya sang ibunda memecah lamunan putranya. Bram menghela nafas sejenak dan mengangguk mantap. Nyonya Miranda tersenyum lalu ketiganya keluar. Nyonya Miranda juga sempat merapikan kemeja anaknya tersebut dengan sayang.
"Udah mau jadi suami,manjanya dikurangin ya." tutur nyonya Miranda penuh haru. Tak menyangka juga anak satu-satunya ini sebentar lagi akan menikah. Sedikit tak rela juga. Bram hanya terkekeh.
"Nggak usah melow, dulu aja dibentakin mulu disuruh cepet nikah. Sekarang sok-sok nggak mau lepas." cibir Bram yang langsung ia mendapat hadiah berupa toyoran. Lalu sang mama menggandeng tangan suaminya, beserta Bram, mereka berjalan menuju pintu utama dimana para saudara mempelai wanitanya tengah berkumpul.
***
"...Jadi, maksud kedatangan kami ini...adalah mengantarkan putra kami satu-satunya Bramantyo untuk melamar Nabila, putri dari Pak Rudi. Bagaimana kesediaannya, pak? Apa maksud kami ini diterima dengan baik?" tanya ayah Bram kepada ayah Nabila dan juga om Helmi yang kali ini sebagai juru bicara. Sanak saudara yang hadir itu cukup banyak. Kata Nabila, mereka semua dari berbagai daerah. Ada yang dari Kalimantan, Banten, Surabaya dan Palembang. Karena keluarga Nabila banyak sekali yang merantau. Karena ayah Nabila tak bisa berbicara, maka dari itu dia memanggil adik dari bapaknya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
Storie d'amoreSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...