5. Perang atau Damai (Revisi)

1K 48 2
                                    

Semuanya membosankan. Entah Semesta yang sedang muram atau aku yang mudah merasa hambar. Semuanya terasa berbeda sejak Adit memutuskan pergi dari hidupku. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang. Semua dipaksa berakhir bahkan ketika tidak pernah benar-benar diawali.

Katanya, cara terbaik untuk menyampaikan rindu adalah mendoakan. Aku sudah melakukannya. Tapi, apakah rinduku sampai kepada Adit? Ah, mengapa aku merindukannya? Aku bahkan tidak terlihat peduli padanya saat ia masih berada di sisiku. Sekarang aku justru mencari dan bahkan mendoakannya. Apa yang terjadi denganku? Apa aku juga jatuh cinta pada laki-laki itu? Menurut kalian bagaimana?

Mungkin aku hanya merasa bersalah sehingga tidak bisa berhenti berpikir tentang Adit. Mungkin juga, kalau semuanya bisa dibicarakan secara baik-baik, aku akan merasa lega. Tapi, apa boleh buat? Tepung dan jagung sudah menjadi bakwan. Sekeras apapun aku berusaha mendekatinya lagi, sekeras itu pula ia menghindari. Persis seperti apa yang kulakukan di masa lalu. Astaga, apakah ini karma?

Tapi, apa salahnya jatuh cinta dengan laki-laki itu? Sepertinya ia baik. Ya, walaupun ia punya sejarah dengan banyak perempuan. Itu bukan alasan yang bagus untuk tidak membukakannya pintu. Siapa tahu dia sudah berubah dan tidak akan seperti itu lagi 'kan? Siapa tahu dia akan menjadi lebih baik kalau bersamaku.

Kalau dipikir-pikir lagi, apa ibu akan setuju anaknya menjalin hubungan dengan laki-laki yang tidak seiman dengan putrinya? Kalau tidak dicegah dari sekarang, bisa-bisa rasa ini semakin gila untuk dijelaskan. Bagaimana kalau ayah dan ibu tidak merestui? Lagipula, apa dia mau kalau harus ikut dengan agamaku? Atau jangan-jangan dia akan memintaku untuk mengikuti agamanya?

Ah, lagipula aku masih kelas satu SMA. Sepertinya tidak perlu terlalu jauh berpikir seperti itu. Rasanya itu semua tidak akan mungkin terjadi. Aku yakin, bahkan kalau aku benar-benar jatuh cinta pada Adit, dia tidak akan mau menerimaku lagi. Pasti selera perempuannya sudah berubah, sudah bukan aku lagi. Juga, ia pasti sudah mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku. Jadi, apa yang kuharapkan sekarang? Yang harus kulakukan hanyalah berhenti mengejarnya dan berhenti memikirkannya.

* * *

"Fira kenapa lagi tuh?"

"Nggak tahu. Dari tadi belum makan, lho. Coba lo tawarin."

Aku mendengar semuanya, walaupun teman-temanku hanya berbisik. Tapi, bisikan itu bahkan cukup keras untuk kudengar. Aku segera bangkit dan berkata, "Nggak usah. Gue nggak laper. Gue pingin ke perpus aja."

Suasana di sini lebih tenang. Tidak ada siapapun yang bisa menggangguku. Ah, kecuali selembar notes yang tertempel di salah satu rak perpustakaan itu. Entah dari siapa dan untuk siapa. Benda itu mencuri perhatianku dan kuputuskan untuk membacanya isinya.

Jadi, gimana? Udah sayang?

"Lucu banget pake notes segala. Pasti yang nerima bakal senang banget." Jadi seperti itu isinya. Aku tidak terlalu memerdulikan kertas itu dan segera berlalu menghampiri buku yang hendak kubaca.

Kumulai membaca buku pertamaku. Membalik lembar demi lembar hingga sebuah pesawat dari kertas meluncur persis di depanku. Karena tidak ada yang memungutnya, kuputuskan untuk mengeceknya sebentar. Seperti ada sebuah pesan yang perlu disampaikan di dalamnya. Aku membuka kertas yang semula rapi berbentuk pesawat itu.

Fir, lihat ke arah jam 7.

Refleks aku langsung menolehkan kepala ke arah yang dimaksud dalam kertas itu. Jantungku berdegub begitu kencang setelah aku tahu siapa yang sedang duduk dan tersenyum di sana. Laki-laki itu rupanya sudah cukup lama mengawasiku. Maksudku, laki-laki itu sudah cukup lama berada di sana. Ia menghampiriku dan tiba-tiba duduk di sampingku. Sial, tubuhku tak bisa bereaksi dengan normal.

SegitigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang