One Year Broken Wing

95 4 0
                                    

Yang kurasakan di musim dingin ini adalah hangat pelukmu. Suamiku, terima kasih telah mencintaiku selama setahun ini, setahun besok, setahun berikutnya, dan selamanya.

.
.

One Year Broken Wing
by: RuruSatya
.
Vocaloid milik Yamaha Future Media dan perusahaan lainnya
.

Fanfiksi terinspirasi dari Seasonal Feather karya HitoshizukuxYamaΔ
.

Tidak ada keuntungan materil yang saya ambil dari fanfiksi ini.

.
.

Aku tidak terlalu ingat bagaimana pertama kali kita bertemu. Yang jelas, saat itu salju turun sangat deras. Kau membuka pintu untuk seorang yang sama sekali tak kaukenal. Seharusnya aku tahu; seharusnya, aku melanjutkan perjalanan bukannya terjatuh di halaman rumahmu. Namun, senyummu meleburkan es yang membalut tubuhku, membuatku jatuh hati pada pria miskin sepertimu.

Andai saja semua ini tak terjadi, aku pasti tak di sini dan segan untuk pergi. Musim telah berganti bersama dengan burung-burung yang bernyanyi memanja indra. Aku terhanyut sang nada. Pujianmu atas merdunya suaraku selalu membuatku tersipu malu. Bagai lembutnya kepakan sayap bangau, katamu.

"Tapi, Suamiku, jika suaraku tak lagi merdu suatu hari nanti, apakah kau akan tetap mencintaiku?"

Yang keluar darimu hanya sederet kecil kalimat. "Tentu saja aku akan. Aku akan dan selalu mencintaimu, Permaisuriku."

Suamiku, kita tak lagi cukup muda untuk bertukar kalimat cinta. Akan tetapi, hanya dengan itu kau sangat paham cara membuatku senang. Dengan belaian talapak tanganmu pada pipiku, air mataku menetes. Setulus itukah kau mencintaiku?

Musim panas yang kita nanti tiba beberapa minggu setelahnya. Katamu, kawanan bangau putih akan terbang melintasi ladang. Di sana kita akan duduk di bawah pohon, lalu memandang langit senja. Setidaknya, suamiku, begitulah yang kaumau demi menyenangkanku.

Sayangnya, semua terjadi tak seperti yang kita harapkan. Tak ada satupun bangau yang bisa kita lihat dari ladang. Kau merintih sambil mengepalkan tangan, menahan sakit yang kausembunyikan beberapa minggu belakangan.

Suamiku, satu pertanyaan buatmu; kenapa harus menungguku menemukan darah pada pakaianmu untuk menjelaskan semua rahasia itu. Katamu, itu hanya akan membuatku khawatir. Katamu, itu karena kau sayang padaku. Tapi, Suamiku, apa yang kukatakan dalam hati jauh berbeda.

Aku ini istri macam apa?

Daun mulai berguguran di penghujung musim panas. Helai demi helai. Terkadang akan terlihat seperti hujan jika angin menyapu. Dalam hati aku bertekad; aku tak akan membiarkanmu gugur seperti dedaunan itu.

Cepat! Cepat!

Semua yang bisa kulakukan hanya menenun kain, berharap dapat menukarkannya dengan obat. Tapi, Suamiku, kenyataan tak pernah manis. Siang malam kulakukan, tak peduli akan apapun yang terjadi, uang yang kukumpulkan tak pernah cukup.

Cepat! Cepat!

Kulit tanganku mengelupas hanya untuk menenun. Betapa sakitnya aku menahan semua ini, tapi lebih sakit setiap kali aku kembali ke kamar dan menemukanmu terbaring.

Aku mengusap sudut bibirmu dari noda darah sambil bertanya bagaimana keadaanmu hari ini. Kau hanya memuji betapa jemariku ini sangat indah menurutmu, tak sama sekali berminat menjawab pertanyaanku. Padahal kau merasakan berapa kasarnya mereka saat disentuh dan apakah kau tak merasa jijik dengan lilitan perban merah yang menutupinya?

"Suamiku, jika suatu saat nanti jemariku tak seindah sekarang, apakah kau akan tetap mencintaiku?"

"Tentu saja aku akan. Aku mencintaimu karena kau adalah kau; kau menjadi dirimu."

Memelukmu dari belakang, kubasahi punggungmu dengan air mata. Tanganmu yang dingin itu menggenggam lembut tanganku. Rasa sakit yang kualami sekarang sudah berbeda. Setulus itukah kau mencintaiku, Suamiku?

Cepat! Aku tak peduli lagi, aku harus cepat! Demi obat yang harus kubeli, demimu yang harus segera sembuh, dan demi musim yang terus berganti, izinkan aku melakukan apa yang kubisa.

Salju sudah mulai turun menyelimuti bumi pertanda musim dingin telah nencapai awalnya. Batukmu tak pernah surut; selalu dan makin parah dari hari ke hari.

Cepat! Cepat! Tak akan ada yang bisa kuhasilkan jika hanya mengeluh saja.

Rasa sakit ini, aku masih bisa menahannya. Kumohon, berikan aku waktu sedikit lagi, sebentar lagi, hanya sebentar lagi. Kumohon, beri aku kesempatan, sekali lagi, sedikit lagi. Aku masih bisa bertahan dengan rasa sakit ini. Aku masih... aku akan....

"Aaaaaaaa..........!!!!"

.

.

.

.

Setetes darah merubah warna gumpalan salju dengan dramatis. Aku meringis ngilu menatap lilitan perban di tanganku.

"Suamiku, bahkan jika suatu saat nanti aku bukan lagi manusia, apakah kau akan tetap mencintaiku?"

Sebuah rahasia selalu tersembunyi di antara kita. Dengan gemetar, kucabut bulu terakhirku.

Len, maafkan aku. Setelah ini, aku tak 'kan lagi bisa bernyanyi untukmu. Juga tak bisa lagi menemanimu. Terima kasih untuk semua yang kauberikan. Juga pertolonganmu saat itu. Maaf untuk tak bisa membayar semuanya.

"Len, maafkan aku."

.

.

.

.

"Istriku, Kagamine Rin, tentu saja aku akan mencintaimu. Tak peduli apapun yang terjadi, bahkan jika suatu saat nanti kau kembali ke wujud aslimu, aku akan terus mencintaimu. Maafkan aku untuk berbohong padamu, Rin, Istriku, Bangau Putih indah yang dulu pernah kubebaskan dari jala di ladangku."

.

.

Pelukan dari kedua tanganmu menghangatkanku di awal musim dingin ini. Salju yang berjatuhan masih sama putihnya, sama dinginnya seperti tahun lalu, ketika sayapku patah dan jatuh di halaman rumahmu.

.

--Fin--
.


Pojok penulis:

Wala! Fanfic pertama Ruru akhirnya mengambil debut. Demi apa saya suka sama lagu yang menginspirasi fanfic ini. Saya memang membuat ini tidak terlalu mirip dengan lagunya. (Yang sebenernya waktu itu emang cuma berdasarkan PV aja tanpa mempelajari arti liriknya dan berakhir dengan penyimpangan plot, tapi gapapa. Dan menurut Ruru pribadi, feel-nya ga dapet TΔT.

Akhir kata, voment please?

RuruSatya

Vocaloid Fanfiction [indo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang