Kau pasti teperdaya jalan pintas.
"Itu bukan jalan pintas."
Lantas?
"Seperti yang tadi kubilang, mulai saat ini, kemujuran memilihku, dan milikku."
Perasaanmu saja. Kau tidak punya buk—
"Ini buktinya!"
Tangan kiri laki-laki itu—tangan yang tak mengayuh galah—mengampu sesuatu seukuran duku, dirapatkannya di dada serupa sikap berdoa.
Asli?
"Asli."
Kau yakin?
"Belum pernah aku seyakin ini seumur hidup."
Memang, sedari keberangkatan tadi, selain memantau ke arah mana rakit melaju supaya konstan di lintasannya via galah di tangan kanan, laki-laki itu betah bersemuka dengan sekepal padatan di tangan kirinya.
Keputusanmu meninggalkan Kali X, ladang penghidupanmu, finalkah?
"Ya. Dan benda memesona inilah yang membebaskanku dari realitas."
Hei, realitaslah yang membuatmu tangguh.
"Realitas pulalah yang membuatku rapuh!"
Laki-laki itu coba menyeimbangkan tubuh, sebab makin ke hilir sampah kian melimpah, menggoyahkan rakit.
Bersetialah dengan motomu.
"'Bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang kemudian'?"
Itu pepatah yang saban subuh kaudehamkan, bukan?
"Ya, tapi lama-kelamaan aku sadar, itu tak lebih dari sepotong kalimat tolol pengimbau orang agar tak meratap nasib. Padahal, bagiku nasib itu muskil ditampik."
Tuhan mempertimbangkan ikhtiar—
"Kau tengoklah sekarang. Harapanku tak lagi sebatas apa yang kubutuhkan, tetapi apa yang kuinginkan jua. Hmm, apa saja ya yang bakal kudapat—?"
Jangan tanya apa yang bakal kaudapat, tanyakanlah apa yang kau dapat berikan!
"TAK KAU HITUNGKAH PENGABDIANKU DI KALI X?!"
Kau ....
"Semampu daya kutekan tabiat buruk para beruk berwujud manusia itu yang bebal mengokang sampah sepanjang masa di seputaranku!"
Kau ....
"Bahkan, aku, yang sejak belasan tahun silam yatim piatu dan terpaksa tak menyambung SMA karena kendala biaya, rela mendedikasikan hari, hanya dan demi Kali X yang tengik dan terkucilkan ini!"
Ia bekap benda mungil di dada kirinya tersebut dengan was-was, hati-hati.
Tenangkanlah dirimu ....
"Aku hanya terlampau lelah ...."
Untuk?
"Untuk segala yang telah kukerahkan bagi Kali X yang malang ini."
Nah, kau kembali.
"Jika bukan karena sekubit kepedulianku, sungai yang menyengsarakan mata saking buteknya ini pasti jadi kambing hitam penduduk sekota, sebab saban tahun banjir tak pernah bosan berhajat."
Teruskan.
"Kendati tak satu pun perempuan yang sudi mendekatiku lantaran jijik, sekadar berjabat denganku saja mereka mendelik (terkecuali gadis berkacamata itu yang begitu antusiasnya kala kali pertama kami berkenalan, lalu seiring waktu diajarinya aku banyak hal, dan aku tahu perhatiannya itu semata-mata tulus, walau kutahu pula kanan-kirinya tak merestu), paling tidak, hidupku tak semenyedihkan apa yang dibayangkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lubuk
Short Story[Cerpen] [2/2] Laki-laki itu mengakrabi betul kehidupannya yang miskin. Juga, segala sesuatu yang bersangkut paut Kali X. Saban hari memulung rezeki di Kali X yang bau, berteman sebilah galah dan rakit bambu. Hingga pada suatu siang, atas nama kemuj...