I - Sagara Arsa Waradana

2.3K 224 12
                                    

Slow update banget ini ya. Super pendek juga. Mumpung ada di kepala hehe.
Selamat membaca :)







Segala macam media sosial penuh dengan Raisa dan Hamish. Gini nih kalau dua pesohor negeri ini bersatu. Yang berbahagia dan patah hati berbanding lurus.

"Kak, lihat Raisa nikah, rasanya gimana?"
Aku sedang menyaksikan perhelatan pernikahan Raisa dan Hamish Daud yang ditayangkan via Facebook The Bride Story.

Sesungguhnya, menyaksikan tayangan ini bakal bikin kuota internetku jebol. Tapi aku penasaran. Jadi kukorbankan kuota internetku yang sudah hampir habis ini. To be honest, aku mau lihat Hamish sih. Patah hati nih aku, berkurang stok lelaki ganteng yang single dan bisa dimiliki secara berjamaah.

"Sakit. Aku sampe sakit ini."

Sakit? Seriously? Gara-gara Raisa? Orang yang kutelepon ini mengidolakan Raisa. Makanya aku sengaja telepon buat menjahilinya. Awalnya begitu.

Aku mengambil ponsel yang tadi kujepit di antara bahu dan telinga, memindahkan ke meja lalu menekan tombol loudspeaker.

"Kakak, sakit apa?"

Aku benci mendengar suaraku sendiri sekarang. Lemah. Kalau ada orang bersamaku saat ini, aku yakin mereka bakal melihat bahwa wajahku terlihat panik.

"Sakit tipes."

"Hah? Dirawat? Udah minum obat? Aku perlu ke sana?" Kini panik bukan lagi merayap, tapi merasuk ke dalam diriku. Suhu tubuhku mulai terasa dingin sekarang. Selalu saja begini. Aku sering kehilangan kendali jika menyangkut lelaki ini.

"Cerewet. Aku nggak apa-apa. Aku di rumah."

"Alhamdulillah." Aku mengembuskan napas lega. Panik berangsur hilang. "Kok bisa sakit? Diet? Kecapekan? Telat makan?"

"Cerewet lagi. Kalo nanya suka borongan. Bikin yang mau jawab bingung."

Aku tertawa pelan. "Maaf, Kak. Tapi tetep dijawab ya?"

"Iya, ini mau jawab. Kecapekan sama telat makan. Tapi bukan karena diet. Udah puas sama jawabannya?"

"Udah, Kakak. Pasang alarm mulai sekarang biar nggak lupa. Apa perlu aku ingetin tiap jam makan?"

"Ingetin aja. Kurang kerjaan banget pasang alarm segala."

"Oke. Istirahat aja kalo gitu."

"Lah dari tadi udah istirahat. Bosen."

"Main Mobile Legend sana."

"Nggak boleh sama Ibu."

"Syukurin. Nge-game mulu sih. Yakin deh aku, lupa makan gara-gara lebih perhatian sama game."
Suara kekehan terdengar di seberang sana. Pertanda pernyataanku barusan benar adanya.

"Kamu kapan mau download game juga?"

Astagaaa lelaki ini! Sejak seminggu lalu, dia menyuruhku download game yang tengah hits sekarang. Dan aku belum melalukan itu karena banyak pertimbangan. Kesibukan salah satunya.

Aku sudah tobat main game adalah salah duanya. Game yang terakhir kumainkan adalah COC, dan harus kuakui, bermain game banyak menyita waktu. Makanya aku sekarang perlu berpikir lagi.

Tapi kamu kan sekarang suka ngeluh bosen, udah main game lagi aja. Suara batinku benar-benar berengsek. Mungkin inilah yang akan dikatakan si Kakak juga kalau mendengar alasanku.

"Woy, masih hidup nggak sih?"

"Masih, Kak. Lagi mikir nih."

"Nggak usah kebanyakan mikir. Besok download, nggak mau tau aku pokoknya."

Pemaksa. Selalu. Bodohnya aku sering sekali menurut padanya. "Iya. Iya. Tapi nanti ajarin."

"Sip. Udahan ya teleponnya, mataku udah lima watt, abis minum obat."

"Yaudah, aku matiin ya. Get well very soon, Kakak. Dadah."

"Dadah."

Begitu layar ponselku mengunci, kuraih novel yang berada tepat di sebelah ponsel. Kubuka halaman pertama, lalu kututup lagi novel itu. Mood membacaku lenyap. Perasaanku tidak keruan.

Aku kembali meraih ponsel saat benda persegi itu berdenting.

Sagara Arsa Waradana: Aku nggak sakit parah. Jangan dipikirin.

Baru saja mau kubalas, ponselku kembali menampilkan pesan masuk.

Riyu Ghali Arrayan Dirgantara: Makan yuk. Aku di depan nih.


***

INTERPRETASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang