Dee Lestari : Royalti dan keadilan

119 6 0
                                    

Royalti dan Keadilan

Dee Lestari  07.09.2017  Blog, On Writing  22

Enam belas tahun lalu, saat saya mulai menerbitkan buku, persepsi umum tentang profesi penulis adalah miskin dan prihatin. Banyak yang bingung kenapa saya mau banting setir dari penyanyi yang konon lebih banyak uangnya. Tak terhitung saya mendengar kasus penulis dikadali penerbit, juga penulis-penulis yang harus sibuk cari kerjaan sampingan karena tidak bisa mengandalkan royalti bukunya. Seorang teman berkata, “Saya buruh kata. Kalau nggak begitu, nggak makan.” Publik boleh mengenalnya sebagai novelis kenamaan, tapi sebenarnya ia mengerjakan macam-macam, dari mulai artikel pesanan, ghost writer, sampai skrip iklan.

Ketika masyarakat berteriak-teriak soal memprihatinkannya budaya membaca dan kerdilnya industri perbukuan Indonesia, kami para penulis ikut teriak. Tapi, begitu urusan royalti, diskusi antar penulis seringnya kembali kepada konsensus (sekaligus penghiburan) bahwa menulis adalah urusan kepuasan batin karena membahas royalti terlalu menyakitkan.

Enam belas tahun berjalan, dan kini saya bisa bilang bahwa menulis buku adalah profesi utama yang bisa saya andalkan, dan saya bisa hidup berkecukupan. Namun, saya sadar, hanya segelintir penulis bisa menyatakan hal serupa. Mungkin jumlahnya kini lebih banyak dibandingkan tahun 2001 ketika saya baru memulai. Tapi, gambar besarnya masih sama. Secara ekonomi, penulis adalah profesi yang menantang.

Genggamlah sebuah buku dan bayangkan bahwa 90% dari harga banderol yang Anda bayar adalah untuk aspek fisiknya saja. Hanya 10% untuk idenya (bisa 12,5 – 15% kalau punya bargaining power ekstra). Lalu, penulis berhadapan dengan negara. Potongan kue kami yang mungil itu dipotong lagi lima belas persen, tak peduli kami hidup seperti burung hantu, wara-wiri untuk riset, merogoh kocek untuk 365 cangkir kopi per tahun, atau apa pun juga. It’s done deal. Kami tidak akan pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan itu bersifat langsung. Lalu, sisanya kami masukkan ke dalam pendapatan tahunan. Bulat utuh menjadi pendapatan kena pajak dan masih harus menghadapi hitungan pajak berjenjang.

Setelah penulis Tere Liye memutuskan untuk menarik 28 bukunya dari penerbit sebagai protes terhadap kebijakan pajak royalti penulis, hangatlah diskusi mengenai pajak royalti di berbagai ranah. Berbagai tanggapan pun muncul, dari pengamat pajak, Dirjen Pajak, bahkan Ibu Sri Mulyani ikut bersuara. Beberapa respons mengatakan keputusan Tere Liye emosional dan berbasiskan persepsi yang kurang tepat mengenai pajak royalti.

Saya bukan pakar pajak. Saya berbicara dari sudut pandang sesama penulis dan wajib pajak biasa. Saya juga tidak mengenal Tere Liye secara langsung. Tapi, saya bisa pastikan Tere Liye tidak sendiri dalam kegelisahannya. Setiap ada kesempatan berbicara mewakili penulis, soal pajak royalti tidak pernah luput saya ungkap. Termasuk ketika saya punya kesempatan curhat langsung kepada Presiden Jokowi di acara Temu Kreatif BEKRAF di ICE BSD, tahun 2015. Di sana, kembali saya menyuarakan agar pajak royalti penulis diringankan.

Dengan seorang pejabat pajak, saya pernah berdiskusi panjang lebar. Dalam pandangan awam saya, peraturan pajak saat itu rasanya menggasak penulis dua kali. Sudah pendapatan royalti dikenai 15%, sisanya yang masuk ke penghasilan tahunan dihitung utuh sebagai pendapatan kena pajak. Saya lalu membandingkan dengan suami saya, seorang praktisi kesehatan, yang karena profesinya dapat menggunakan rumus norma sebesar 30%. Dari total pendapatannya, ia cukup memasukkan 30% untuk dikenai pajak. Sisanya? Dianggap sebagai modal usahanya sebagai praktisi kesehatan.

Dalam diskusi itu saya bertanya, mengapa tidak ada norma untuk profesi penulis? Mengapa pendapatan kami seratus persen dikenai pajak? Lalu, pejabat pajak itu menjawab, norma hanya rumus untuk memudahkan. Jika saya mau membuat pembukuan, bisa saja saya masukkan biaya-biaya yang dianggap “modal menulis”, entah itu sewa kantor, riset, dan sebagainya.

Dear AuthorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang