If You Only Knew

23 1 0
                                    

Nara

"Ra."

"Hmm." Aku masih asik dengan buku novel dalam genggamanku, tidak terlalu memperhatikan Alfi yang fokusnya kini sepenuhnya padaku.

"Ra."

"Ya?" Ia masih di situ, memandangku, tidak bosan. Aku tahu dia hanya mau mengalihkan perhatianku agar sepenuhnya tertuju padanya. Aku sudah begitu mengenal Alfi.

"Ra, lihat aku, dong." Dia merengek, membuatku terpaksa harus menghentikan aktivitas membacaku yang cukup mengasikkan sebelum menoleh ke arah laki-laki itu. Ia tersenyum, tepat seperti anak kecil yang keinginannya dikabulkan. Kedua tangannya menopang dagu.

"I love you." Aku memotar bola mata dan menghembuskan napas, sebagai gestur untuk mengungkapkan kalau aku tidak begitu tertarik dengan percakapan lovey-dovey ini.

"Kamu keseringan bilang cinta, aku jadi bosan lama-lama." Aku menyandarkan punggung pada pohon yang tepat berada di belakangku, kami sedang berada di taman fakultas teknik saat ini.

"Tapi aku nggak bakal bosan." Dia berujar, dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas, mencipta senyum.

"Aku belum bosan bilang cinta ke kamu." Eew, so cheesy. Kalau saja Alfi bukan pacarku, aku sudah pasti akan menimpuknya dengan buku yang ada di pangkuanku sekarang. Aku memejamkan mata, tersenyum mengingat apa yang barusan ia katakan sebelum membalas ucapannya dengan,

"I love you, too." Aku bisa merasakan sosoknya yang berpindah ke sebelahku, ikut menyandarkan punggung pada batang pohon. Aku membuka mata saat merasakan sebelah tanganku diraih, Alfi mengarahkan punggung tanganku ke bibirnya, mengecup lembut buku-buku jariku. Aku bisa merasakan wajahku merona karena perbuatannya.

"Guys, sorry lama. Tiba-tiba dikasih kuis dadakan sama dosen." Suara familiar memecah momen romantis apa pun yang aku punya dengan Alfi. Aku menoleh ke asal suara, kudapati Namo tampak terengah-engah seperti habis berlari. Aku hanya mengangguk maklum, yang disambut Namo dengan senyum hangat miliknya.

"Jadi, mau makan dimana?"

Alfi

Gue nggak tahu apa yang salah dengan Namo. Belakangan ini dia jadi lebih pendiam dan lebih sering ngelamun. Awalnya gue kira cuman perasaan gue doang. Tapi ternyata emang ada yang salah sama sahabat gue satu itu, karena Nara bahkan sampai minta gue buat ajak Namo bicara empat mata.

Pacar gue itu bilang, dia udah coba ngajak Namo ngobrol, tapi si tengil satu itu terus—terusan berlagak kayak nggak ada apa-apa. Jadi buat menyenangkan nara, dan biar gue juga nggak terus-terusan penasaran, malam ini gue rencananya mau ngajak Namo minum-minum, siapa tahu dia jadi lebih terbuka sama gue pas lagi mabuk.

Namo

Gue sayang sama Nara. Sayang banget. Kita temenan udah dari TK. Jaman gue sama dia masih bocah ingusan yang hobinya rebut-rebutan hadiah mainan dari ciki. Dan gue tahu, ga bakal mudah nyembunyiin apa pun dari Nara karena dia udah kenal gue luar dalam. Tapi gue juga tahu, Nara ga bakal bisa nerima diri gue yang sebenarnya dan perasaan gue. Gue nggak mau nyakitin Nara dan juga Alfi.

Pas Alfi datang ke flat gue sore ini sambil bawa 3 botol Jack Daniels dan berkaleng-kaleng bir, gue tahu gue dalam masalah. Buat Alfi, minuman beralkohol cuman berarti satu, pembicaraan serius. Entah itu dia yang mau curhat ke gue, atau gue yang keceplosan curhat ke dia pas mabuk.

When You Hear ThisWhere stories live. Discover now