Mas Reyhan?!
***
Nania berkutat dengan sayur mayur di dapur. Tadi sepulang sekolah ia menyempatkan untuk membeli sayuran di mall--terpaksa sih karena di pasar pasti udah ngga ada yang jual. Kalaupun ada pasti sudah layu.
Sejenak, ia ingin melupakan percakapannya dengan Gina saat di kantin. Ia juga tidak ingin Fathan tahu tentang masa lalunya. Ia belum siap. Sehingga ia berusaha untuk bersikap seperti biasa. Karena itu segera saja ia meminta Pak Mar untuk mengantarkannya membeli sayur.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima sore, namun masakannya belum juga selesai. Fathan dan temannya juga belum pulang. Untung saja sepulang belanja Nania menyempatkan diri untuk beres-beres, jadi tidak perlu repot lagi.
Suara mobil terdengar setelah ia mematikan kompor. Bisa dipastikan suami tercitanya sudah pulang.
Nania terkekeh sendiri. Tercinta? Bahkan Nania tidak tau bagaimana perasaannya. Disatu sisi ia bahagia terhadap sikap Fathan, tapi disisi lain, hatinya masih diisi oleh orang lain. Dan lagi, mereka juga menikah hanya karena sebuah insiden.
Nania menggeleng pelan. Seharusnya ia bisa melupakan orang itu, seperti kata Gina. Orang itu sudah bahagia, ia tidak boleh terus seperti ini. Dia juga sudah punya Fathan yang statusnya lebih tinggi. Nania tersadar dari pikirannya saat mendengar salam. Ia pun bergegas menyambut suaminya.
"Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikum salam," jawabnya seraya mencium punggung tangan Fathan. Ia mengambil tas dan jas yang ditenteng Fathan ditangan kanannya.
"Masuk, mas." Nania mempersilakan Fathan dan temannya sambil tersenyum ramah, menapakkan dimple di pipi kirinya. Sedangkan Reyhan balas mengangguk dan menarik kopernya mengikuti Fathan.
"Duh, Than... itu bini lo? Manis deh." Kata Rey sambil nyengir, setelah Nania berlalu menyimpan tas dan jas Fathan, sedangkan Fathan menatap tajam ke arah Rey.
"Weits! Jangan gitu dong, Than." Kata Rey dibarengi kekehannya, "Nggak gue ambil kok." Sambungnya.
"Sampai berapa lama disini?" Tanya Fathan setelah ia duduk di sofa ruang tamu. Reyhan hanya mengikuti Fathan dan duduk tanpa dipersilakan.
"Begini ya, Than... kan gue sekertaris lo... terus lo kan jadi ngurusin cabang disi-"
"Ngga usah basa-basi!" Fathan memotong ucapan Rey yang seperti putri solo. Pelan.
"Gue kan nungguin lo balik Jakarta, Than." Tandas Reyhan.
"No! Gue ngga buka tempat penampungan!"
Reyhan mendecak, "Ck! Masa gue harus sewa hotel sih? Mahal, Than." Nada suara Reyhan berubah memelas di kalimat terakhir.
"Gue kasih waktu seminggu sampe lo dapet tempat." Mulut Reyhan ternganga. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan tempat disini? Dia tidak mengenal daerah-daerah disini.Ya Tuhan... bahkan ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di kota ini.
"Hush!" Interupsi Nania yang baru kembali ke ruang tamu membawa segelas air putih dan segelas jus jeruk. "Kamu ngga boleh begitu, mas." Ujar Nania seraya mengulurkan air putih pada Fathan dan jus jeruk pada Reyhan.
Saat bersitatap dengan Reyhan, Nania tersenyum, "Silahkan diminum." Kemudia ia duduk diamping Fathan dan melanjutkan ucapannya seraya menatap suaminya itu.
"Nggak apa-apa kalo temen kamu mau nginep disini. Kan, biar rame." Ujar Nania menatap Fathan yang kini juga menatapnya.
"Yang ada dia itu gangguin orang terus." Ucap Fathan dengan nada tak suka.
"Halah... Emangnya kamu ngga suka ganggu orang?" Nania mencibir Fathan yang kemudian ekspresinya berubah kesal. Istrinya itu memang mudah menjawab omongannya. Sedangkan Reyhan yang menatap sahabatnya itu menunduk, menyembunyikan tawanya.
"Dia makannya banyak lho, yang." Fathan masih berusaha memengaruhi istrinya agar tidak mengizinkan Reyhan menginap terlalu lama.
"Kamu makannya juga banyak." Timpal Nania enteng dan saat itu pula bahu Reyhan bergetar lebih kencang. Ketara sekali kalau pria bernetra hitam itu tak dapat menahan tawa. Sedangkan Fathan diam saja tak menanggapi. Ia dongkol, bukannya setuju, Nania malah membuatnya malu.
"Ngga apa-apa, kan? Biar aku ada temennya juga kalo dirumah. Oke?" Bujuk Nania dengan manis.
Fathan hanya menjawab dengan berguman lalu beranjak dari duduknya setelah menghabiskan air putih. Sedangkan Nania langsung beralih pada Reyhan yang duduk di hadapannya.
"Mari, mas, Saya antar ke kamar." Nania berdiri diikuti ileh Reyhan.
"Ah, iya. Nama saya Reyhan, temennya Fathan." Reyhan mengulurkan tangan mengajak berkenalan dan disambut oleh Nania.
"Saya Nania, mas." Kemudian mereka menaiki tangga menuju kamar yang disediakan untuk Reyhan. Sesekali Reyhan bercerita tentang Fathan yang dulunya irit bicara, dan tentu saja Nania tidak percaya itu dengan mudah. Dia aja cerewet gitu, usil juga.
"Kalau ada apa-apa bisa bilang ke saya." Ucap gadis itu seraya membuka pintu kamar untuk Reyhan.
Reyhan berterima kasih dengan senyuman di bibirnya. Reyhan memasuki kamarnya setelah ia mengatakan sesuatu yang membuat Nania bingung, "Kamu tidak seperti perempuan yang sering mendekati Fathan. Saya percaya kalau kamu bisa merubah Fathan jadi lebih baik."
Karna ia tidak mau memikirkan hal itu. Nania segera menyusul Fathan ke kamar mereka. Ia yakin, pasti Fathan sedang kesal padanya.
Benar saja ketika ia masuk, Fathan yang baru keluar dari kamar mandi tak menghiraukannya. Lelaki yang hanya memakai celana sebatas lutut dengan handuk yang menggantung dilehernya itu memilih untuk mencari kaos yang akan dikenakannya, mengabaikan Nania.
"Kamu ngga usah drama deh mas." Kata Nania dengan pandangan yang tak lepas dari Fathan. Namun lelaki itu tetap mengabaikannya.
"Mas Reyhan kan cuma sementara disini." Apa? Mas Reyhan? Fathan tidak salah dengar? Bahkan ia ingat saat pertemuan pertama mereka Nania memanggilnya dengan sebutan 'om'. Dengan segera ia membalikkan tubuhnya menghadap istrinya setelah ia memakai kaos.
"Mas Reyhan?" Tanyanya tak percaya, "Kamu panggil dia 'mas' sama kaya aku? Bahkan kamu panggil aku 'om' waktu itu." Tandasnya.
Nania menghela napas. Kadang suaminya ini sangat kekanakan, seperti sekarang. "Kan waktu itu kamu pake jas, sedangkan Mas Reyhan ini cuma pake kaos. Jadi keliatan masih muda." Ujar Nania seraya mendekati Fathan.
"Kamu bilang aku udah tua? Gitu?"
"Enggak gituu..." Nania menghela napas, "Udahlah, kan cuma panggilan aja." Nania bernegosiasi.
"Enggak! Kamu nggak boleh panggil dia 'mas'! Panggil aja 'bang' kaya Airi!" Titah Fathan.
Karena tak mau berdebat lagi, ia langsung menyetujui titah Fathan. Tangannya terulur mengambil handuk di leher Fathan, kemudian menyimpannya di gantungan.
"Ayo makan, aku mau panggil mas--bang Reyhan dulu."
"Nggak! Biar aku yang panggil. Kamu turun."
Nania menyatukan alis, ada apa sih dengan Fathan hari ini?
***
Mas Fathan udah mulai cemburuan niihh.. hihihi
Sumpah waktu bikin part ini aneh banget rasanya. Receh banget. Susah sih bikin adegan Si mas Fathan ini cemburu.
Keep VoMent yaa....!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
2U (To YOU) (ON HOLD)
RomanceAnak terakhir itu tidak selalu dimanja seperti dalam cerita. Anak terakhir itu juga harus bisa mandiri dan bisa mengalah. Seperti Nania. Dia adalah anak terakhir dari tiga bersaudara, dimana kedua kakaknya sangat disayangi oleh kedua orangtuanya, ti...