SEBUAH KISAH NOSTALGIA

54 2 0
                                    

Satu persatu tamu mulai meninggalkan rumah bercat biru ini. Beberapa diantaranya dengan mata yang sembap. Sisanya memasang wajah datar tanpa ekspresi sama sekali. Beberapa orang yang pun menyalamiku dan pamit padaku seolah tau bahwa aku bagian dari keluarga ini walaupun tidak ada hubungan darah.

Satu lagi karangan bunga yang baru saja diberikan, diletakkan didepan pagar rumah ini. Pengirim yang nampak seperti pengusaha besar masuk kedalam setelah menyalamiku. Dari kursi yang sedang kududuki, aku dapat melihat Raina yang muncul diambang pintu tidak lama setelah pengusaha itu masuk. Ia menghampiriku dan duduk disebelahku.

Kami berdua diam. Tidak ada yang hendak memulai pembicaraan. Aku menyapu pandanganku sejauh aku dapat memandang. Tidak ada senyum yang mengembang hari ini. Kalau ada senyum yang terukir hari ini, aku tidak dapat melihatnya dan aku tidak ingin tau. Aku juga sama sekali tidak peduli. Aku ataupun siapa saja yang datang kerumah ini, kami sedang berduka. Hatiku sedang sangat berkabung. Suasana sedang mendung.

Raina menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tidak dapat melihat wajahnya saat ini tapi aku dapat merasakan kesedihannya pula.

"Aku sudah ketemu Tante Mona. Aku juga sudah bilang Tante Mona kamu belum siap masuk—"

"Aku nggak papa Rai. Aku cuma nyesel dateng terlambat"

"Kita, bahkan nggan satupun orang akan tau kalau jadinya begini, Lik"

Hening lagi diantara kamu. Tarikan dan helaan nafas Raina terasa berat.

"Pulang yuk Lik"

Raina menegakkan kepalanya dan wajahnya menghadapku. Matanya menatapku lekat - lekat.

Aku tidak ingin menjawab ajakannya dengan suara, dan beranjak berdiri. Raina akhirnya juga ikut beranjak dan mengikutiku dari belakang. Anggap saja tindakanku ini jawaban atas ajakannya itu.

Di mobil pun kami tidak bicara sepatah kata pun. Rasanya saat ini tidak ada yang benar. Otakku terasa sedang sangat penuh. Kehilangan pertama dalam hidupku dan sangat menyesakkan.

Aku menatap Raina, Raina yang sadar akan tatapan itu kemudian mencetak sebuah senyum seadanya dibibirnya, "Allah lebih sayang sama Joseph, Lik"

Aku jadi ingat sesuatu karena kata – kata Raina itu.

"Rai, beli kue coklat yuk"

Dahi Raina berkerut, heran, "kue coklat?"

"Iya kue coklat. Ada kue coklat enak deket sini. Enak banget pula" aku mulai menyalakan mobil dan mengendarai mobil meninggalkan rumah duka,

"Boleh. Tapi kenapa tiba - tiba?"

Aku memandang Raina sebentar sebelum fokus menyetir lagi, "mau denger cerita nggak?"

"Cerita apa?"

****

Surabaya, 19 tahun silam...

Panas.

Panas sekali. Angin pun tidak sepoi sama sekali. Seorang anak laki - laki yang masih mengenakan seragam merah putihnya sambil menggendong ransel merahnya lompat dari bayangan pohon satu ke bayangan pohon lainnya. Sementara temannya, seorang anak dengan seragam yang sama, pun sebaya dengannya melangkah dengan lenggang dijalanan yang terpapar sinar matahari sambil memainkan tamagotci hijau di tangannya.

"Ahh! Aku nggak mau main lah nanti Josh. Panas banget udaranya. Haus aku"

"Ah cupu"

Anak lelaki yang dipanggil Josh itu masih memainkan tamagotchinya, tidak sadar jika temannya itu masih berdiri dibawah pohon yang rimbun.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 13, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEBUAH KISAH NOSTALGIAWhere stories live. Discover now