II - RIYU GHALI ARRAYAN DIRGANTARA

2.2K 231 30
                                    

"Nggak kerja, Mas?" tanyaku pada lelaki yang lima belas menit lalu mengirim chat bahwa dia berada di depan indekosku. Membuat aku yang tengah menyaksikan momen romantis Raisa dan Hamish, akhirnya terbirit-birit berganti pakaian lalu bergegas menuju gerbang.

"Kerja. Masuk jam sembilan. Nanti habis nganter kamu, aku ke kantor."

"Oh." Dasar kurang kerjaan! Pantas saja setelannya rapi, rupanya mau sekalian berangkat kerja. Kukira lelaki di depanku ini malah baru pulang kerja.

"Nanti kukirimin jadwal kerja minggu ini."

"Hem." Aku mengangguk. Sudah setahun belakangan ini, setiap minggunya dia mengirimi jadwal kerjanya tanpa kuminta.

"Minggu main yuk. Aku masuk malam."

"Ke mana?"

"Kamu maunya ke mana? Aku anterin deh ke mana pun yang kamu mau."

Pupil mataku melebar. "Serius?"

Dia mengangguk. "Kapan sih aku nggak serius. Kamu tuh yang masih mau main-main."

Ah, Mas. Pertanyaannya kok begitu sih? Rasanya ada yang mencubit hatiku.

Sakit. Sedikit. Meski diucapkan dengan nada bercanda, aku tahu bahwa itu sindiran.

Bagaimana aku mau serius, Mas? Bagaimana bisa aku menutup mata jika nanti aku bahagia dan ada pihak yang terluka? Bagaimana?

"Nggak dihabisin makannya?"

Kutatap piring berisi bihun goreng yang masih tersisa separuh. "Kenyang, Mas." Sejujurnya tadi aku sudah ngemil dua bungkus keripik kentang, tapi mau menolak ajakan lelaki di depanku ini rasanya tidak enak. Dan sekarang mood makanku sudah hilang karena pernyataannya tadi.

Tanpa kata, dia menggeser piringku ke hadapannya lalu mulai menghabiskan makanan yang kusisakan.

Kenapa begitu baik sih, Mas? Kenapa bikin aku jadi nggak enak hati terus-terusan? Kalau nanti aku goyah, gimana?

"Habis ini mau muter kayak biasa?"

Aku mengangguk dengan semangat. "Mauu."

Kadang aku curiga kalau aku punya kepribadian ganda, sebentar sebal, sebentar senang. Tapi jangan deh, aku mau hidup normal saja.

"Ya udah bentar lagi ya. Aku habisin makan dulu."

"Iya."

Sudah jadi kebiasaanku sejak kuliah, setiap kali berada di luar, aku akan melewati Jalan Malioboro dulu baru pulang ke indekos.

Teman dekatku, mantan pacarku bahkan paham kebiasaan ini. Entah mengapa, melewati Jalan Malioboro membuat suasana hatiku yang awalnya buruk menjadi normal kembali.

"Udah nih.  Yuk jalan."

Aku mencangking tasku lalu mengikuti Mas Riyu keluar dari tempat makan.

"Mas, bantuin naik."

Dia tertawa, sedang aku merengut. Sebal.  Motor Mas Riyu yang sekarang sering membuatku bibirku menjebik. Tinggi. Benar-benar tidak cocok untukku yang posturnya mungil.

Mas Riyu meraih pinggangku, setengah mengangkat tubuhku agar bisa naik.

Oh jantungku. Tolong, jangan berulah.

"Minum susu makanya biar tinggi."

"Udah nggak ngaruh tau, Mas."

Lagi-lagi dia tertawa. Dan aku tertular. Senyumnya, tawanya, alasanku jatuh cinta tujuh tahun lalu. Tak bisa ku pungkiri, setiap kali bertemu, perasaanku masih sama. Bahkan setelah melewati tahun-tahun tanpanya.

Jogja ketika malam hari tak pernah sepi. Dan aku suka suasana ini. Meski ramai tapi tak pernah membuatku jengkel. Jogja bagiku selalu berhati nyaman.

"Lah, Mas, kita lewat kantormu." Aku menolehkan kepala ke gedung yang baru kami lewati. Sebuah bank milik pemerintah, tempat Mas Riyu bekerja.

Kami tadi makan di Galeria Mall, dan tentu saja untuk sampai ke Malioboro harus melewati jalan ke kantornya.

"Kamu bolak balik ini sih namanya, Mas. Sayang bensinnya."

"Nggak apa-apa. Aku lebih sayang kamu."

Tepat sasaran! Kena di hati banget.  Aku harus bilang apa coba? Jantungku yang kini berulah saja sudah membuatku cukup kesulitan.

Bagaimana ini?

Ya Tuhan, aku malu.

Sepanjang perjalanan setelah pernyataan itu, baik aku dan Mas Riyu tidak saling bicara. Deru kendaraan sudah cukup untuk menemani perjalanan kami.

"Masuk sana. Gosok gigi terus tidur. Nggak ada tugas, kan?"

Aku menggeleng. Memang tidak ada. Pekerjaan siswa sudah kukoreksi semua. Materi untuk mengajar besok juga sudah selesai kusiapkan.

"Masuk sana," suruhnya lagi.

Aku mengangguk. "Makasih ya, Mas. Semangat kerjanya. Dadah." Aku melambaikan tangan seperti biasa.

Namun bukannya membalas lambaian tanganku seperti biasanya, dia malah menarik tanganku, membawanya ke bibir dan memberikan kecupan ringan. Lalu tangan itu singgah ke kepalaku. Dia menatapku sebelum akhirnya menghilang dari pandangan.

Ya Tuhan, jantungku.

Ya Tuhan, kakiku lemas.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 14, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

INTERPRETASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang