Chapter 3

306 21 0
                                    

Teman bagai sebuah trauma tersendiri bagiku. Ketika aku kelas 1 SD aku mempunyai dua teman. Namun nasib pertemanan kami berujung tragis. Yang satu mengalami kecelakaan saat kelas 2 sehingga dia harus dirawat di luar negri. Nampaknya dia tidak berniat kembali dan memilih menetap disana.

Yang satu lagi telah keluar karena suatu kasus saat kelas 3. Katanya sih dia tertangkap basah telah mencuri di koperasi sekolah. Namun dia bercerita padaku bahwa dia tidak bersalah. "Ini fitnah do, sumpah". Dia pun pindah sekolah dengan kondisi depresi.

Sejak saat itu aku sadar bahwa kehadiranku akan membawa sial bagi orang sekelilingku. Aku memilih menjauh dari pergaulan kelas. Aku juga memilih untuk tidak terlalu sering bicara pada keluargaku. Itulah kenapa aku bersikap dingin pada semua orang. Berharap mereka benci dan menjauhiku. Ini lebih baik daripada harus membuat orang lain ketimpa sial.

Namun Aldo justru mendekatiku. Entah apa maunya sebenarnya, namun dia sering bertingkah aneh. Dia orang yang misterius.

******

"Oy do ayo pulang bareng". "Hah? Gak ngapain emang rumah kita sama ya?" Aku menjawabnya dengan pura-pura bego. "Woy, jangan di begoin kali".

Dan akhirnya kami satu kereta.

Sial kenapa dia mengikutiku terus. Aku sudah bosan melihatnya di sekolah tapi kenapa aku harus satu kereta dengannya?

"Aldo, emang rumah mu dimana?". Setidaknya aku mulai saja percakapan daripada diam. "Ah kau penasaran? Akhirnya aku dianggap teman ya? Atau jangan jangan kau canggung, jadi memulai pembicaraan duluan?".

"Maaf mungkin sebaiknya tidak jadi". Aku kesal dengan jawabannya itu. Sumpah ngarep banget deh dia.

"Lah marah?". Aku lebih memilih diam saja sepanjang perjalanan sampai di stasiun yang kutuju.

Kami sampai di stasiun tujuanku. "Oh, jadi kamu turun disini ya?". "Bagaimana denganmu?". Aku balik bertanya. Mudah mudahan dia gak ge-er lagi.

"Ah aku masih 2 stasiun lagi". 2 stasiun? Itu jauh sekali. Bukankah harusnya itu sudah mengarah ke luar kota.

Belum sempat aku bertanya pintu kereta sudah tertutup. Ah pulang aja lah

******

Sesampainya dirumah tidak ada yang berubah dalam keseharianku. Kecuali satu yang berbeda hari ini. Ayahku pulang saat makan malam.

"Halo do, dah lama ya ayah gak gabung makan malam. Hehehe maklum sibuk". Ayahku mengatakannya sambil nyengir.

Ayahku memiliki wajah yang terlihat berwibawa dan tegas. Tapi dibalik perawakannya itu ayah adalah seorang yang humoris. Sumpah dulu aku masih ingat saat kecil ayah pernah jahil diam diam memasukan garam yang banyak pada makananku. Saat itu aku sedang pergi mengampil minum di kulkas. Aku langsung terbatuk batuk saat memakannya. Sedangkan ayah tertawa terbahak bahak. Ibu hanya bisa geleng kepala.

"Ayah tidak kerja?".
"Oy apa maksudmu ayah yang bekerja lembur dari liburan tahun baru masih juga kau katakan tidak bekerja?".

Sial bukan itu maksudku yah!

"Maksudku, apa ayah hari ini tidak bekerja?".
"Hhmmm... gimana ya?"

Ayah nampak berpikir sejenak

"Kabur..... mungkin". Ayah menjawabnya dengan senyum tanpa dosa.

"Yang benar saja, karyawan macam apa ayah ini meninggalkan pekerjaan disaat penting?"

"Tapi aku kan bos nya". Kembali ayah yang menjawabnya.

"Baiklah aku ganti kalimatku. Bos macam apa ayah ini yang kabur saat bekerja?".

"Kok kayaknya kalimatnya berbeda dengan yang tadi do? Gimana sih?". Baru juga melihat ayah hari ini, dia sudah bikin aku kesal.

"Hedeh, sudah cukup, lebih baik aku makan saja". Aku mulai malas menanggapi lelucon ayah ini.

"Becanda kok, kerjaan ayah yang bikin sibuk akhir-akhir ini sudah selesai, jadi ayah bisa pulang cepat malam ini".

"Oohh begitu ya?".

"Bisa gak sih kalian makan malam dengan tenang?". Itu ibu yang nampaknya cuma memperhatikan kami dari meja makan. Gawat kayaknya ibu bakal marah deh.

Aku dan ayah langsung makan dengan lahap dab tidak berbicara lagi sampai makanan habis.

******

Setelah selesai makan, aku menonton televisi di ruang tengah. Tentu saja aku menyalakannya dengan pikiran.

Ayah mengampiriku. Dia duduk disampingku juga menonton tv.

"Kamu kangen ayah ya?". Ayah memulai pembicaraan.

"Biasa aja sih yah". Aku menjawabnya dengan santai sambil fokus ke layar tv.

"Wahhh... Edo kejam".

Diam sejenak. Kami sama-sama fokus ke layar tv.

"Gini do....". Ayah memulai kembali pembicaraan. Nampaknya ini serius jadi aku mengalihkan perhatian padanya.

"Apapun yang terjadi, turuti kata ibumu. Dia adalah orangtua mu dan akan menuntunmu ke jalan yang benar. Apapun yang dia lakukan itu demi kebaikanmu, satu-satunya anak kami".

Aku tercengang sebentar. Setengah karena tersentuh dengan apa yang diucapkan ayah. Setengahnya lagi karena heran, kenapa ayah tiba-tiba jadi bijak?

"Ayah bisa juga berkata seperti seorang ayah ya". Aku menjawabnya dengan polos.

"Ya ampun, selama ini ayah bicara seperti apa coba?"

Kami pun tertawa bersama di depan tv.

Saat ini aku belum tau maksud dari kalimat ayah.

Namun esok, aku akan mengerti apa yang ayah maksud. Esok adalah hari dimana kehidupanku berubah drastis. Hari dimana semua masalah terjadi. Hari dimana aku megerti apa maksud dari perkataan ayah barusan. Namun saat ini aku masih belum tau. Yang jelas esok adalah awal dari bencana.

*****

Tunggu dulu, tadi ayahku bilang menjadi bos perusahaan ya? Sejak kapan?

Is it Wrong if I Expect Someone to Protect me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang