Seorang perempuan duduk di tepi jendela, memandang hujan yang sedari sore turun mencecah bumi. Wajahnya seperti pualam, pucat dengan hiasan rambut merah tergerai sebahu. Di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, terapit sebatang rokok kurus yang terbakar sia-sia. Abunya hampir setengah, menjuntai hendak jatuh ke lantai.
Selasa malam yang sangat biasa, bar itu sepi pengunjung. Cuaca buruk yang sedang hinggap di kota itu membuat penduduknya enggan keluar rumah, bahkan hanya untuk sekadar minum bir dan mengobrol dengan manusia lain, membicarakan masalah cuaca yang tidak menentu atau konser Madonna yang tak seperawan namanya.
Seorang pelayan berjalan mendekat dengan nampan berisi bacardi, terhuyung karena terpeleset kubangan air di lantai yang menetes dari plafon. Dia mengumpat, mengutuki bosnya yang terlalu pelit untuk memperbaiki atap yang bocor. Umpatannya pelan, tetapi cukup jelas didengar oleh telinga perempuan berambut merah, pengunjung setia setiap Selasa petang. Dia menjuluki perempuan itu Nona Selasa.
"Nona, saya tidak bermaksud ...."
"Aku tahu." potong Nona Selasa. Jarinya menjentikkan rokok, membuat abunya menghambur ke lantai. "Babi memang cocok sebagai umpatan untuk bosmu. Bahkan mungkin, babi pun lebih baik darinya. Duduklah."
"Tetapi ..." Kepala pelayan itu meneleng ke arah bar, tertuju pada sepasang mata lelaki gendut yang mencorong menatap mereka di balik meja kasir.
"Anggap saja kau mengambil jam istirahat lebih awal, temani aku ngobrol. Bosmu akan kuurus nanti."
Perempuan itu berpindah dari tepi jendela, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan pelayan tersebut. Ia mengamat-amati wajah pemuda berusia dua puluh tahunan itu. Dengan wajah bulat bercambang dan hiasan kumis tipis yang menempel satu mili di atas bibir merahnya, ia benar-benar menampakkan keluguannya--terlugu di antara Selasa sore yang pernah ia habiskan bersama.
"Kamu sudah punya pacar?"
Pemuda itu menggeleng. Jelas sekali pertanyaan itu membuatnya canggung. Nona Selasa biasanya hanya mengobrol tentang pacarnya, bagaimana ia mengecat rambut pirangnya menjadi merah menyala, atau cuitan pembenci pemerintah yang hanya berani berkoar di media sosial. Ia sama sekali tak pernah menanyakan sesuatu pun tentang dirinya. Namun kali ini, Nona Selasa berminat untuk membicarakan perihal dirinya.
"Seperti apa tipe perempuan yang akan kaupacari nanti?"
"Seperti ibu saya," jawabnya singkat.
"Aku tidak mengenal ibumu. Bagaimana aku tahu pacar masa depanmu itu?"
"Wanita biasa, taat pada agama, dan tahu persis apa yang diajarkan agama untuk menjadi seorang istri."
Pemuda itu menunduk, melipat tangan, dan meletakkannya di antara jepitan paha. Perempuan itu terkikik, lelaki yang di hadapannya itu jelas adalah seorang yang polos. Mungkin dia baru saja pindah ke kota dan bekerja di bar ini. Dari pandangannya tentang pacar masa depan, ia sudah bisa menilai pemuda itu datang dari keluarga yang sederhana dan taat beragama dari pandangannya tentang pacar masa depan.
"Sebentar lagi aku akan menikah. Aku akan menjadi seorang istri. Jika kau tak kebaratan, maukah kau mengajariku bagaimana cara agamamu mengajari perempuan menjadi seorang istri?"
Mata perempuan itu menatapnya dalam, seolah mencari-cari celah di antara bulatan bola mata pemuda itu. Barangkali, dia bisa masuk dan mencuri jawaban. Kakinya yang tersilang bergerak-gerak lamban, menghitung detik ke berapa pemuda itu akan mulai ceramahnya.
"Seorang istri haruslah taat pada suami." Pemuda itu membuka mulut di detik kesepuluh. "Ia harus menurut pada suami, melayani dengan tulus dan pandai merawat rumah dan anak-anak. Yang terpenting ia punya moral yang baik."

KAMU SEDANG MEMBACA
Nona Selasa
Truyện NgắnTulisan ini terinspirasi dari isu tes keperawanan sebagai syarat pernikahan. Buat saya pribadi, ketentuan ini sangat memberatkan. Kelamin adalah bagian tubuh yang paling rahasia, tidak boleh seorang pun mencampuri apa yang dilakukan oleh Si Pemilik...