Prolog

7.7K 826 46
                                    

Republish ulang karena mau diselesaikan awal bulan depan. IsyaAllah. Hehehe ....

Buat yang bingung, bisa baca dulu Helena ya. 

Happy reading. ^^

.

.

.

Dilarang menjiplak, menyalin dan menyebarluaskan tanpa izin penulis.

.

.

.

Largo

Prolog

Romans, family, action

.

.

.

Largo bersandar pada meja bar di belakangnya. Sekilas ia menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Seperti biasa, suasana pesta malam ini terasa sangat membosankan untuknya. Jika bukan demi kepentingan bisnisnya, Largo tidak akan mau repot menginjakkan kaki ke tempat ini.

"Kau sendirian lagi?" Tuan Scott bertanya dengan santainya. Perawakannya yang gemuk membuatnya sedikit kesulitan untuk berjalan cepat. Napasnya sedikit terengah saat dia berdiri di sisi kanan Largo. Matanya mengikuti arah pandangan pria muda di sampingnya.

"Tidak berniat mengajak salah satu diantara mereka untuk berdansa?" tanyanya lagi sembari mengangkat dagu ke arah sekelompok wallflower yang duduk di sisi kanan ruangan. Mereka terlihat malu-malu saat tatapannya bersirobok dengan tatapan Largo.

Largo tidak langsung menjawab. Ia membalikkan tubuhnya dan meminta bartender untuk kembali mengisi gelas minumannya yang sudah kosong. "Bukan tipeku."

Jawaban tak acuh itu membuat Tuan Scott menggelengkan kepala. Pria berusia enam puluh tahun itu adalah rekan bisnis Largo dan hingga detik ini dia masih menaruh harapan jika orientasi seksual Largo kembali normal.

Sudah menjadi rahasia umum jika Largo menyukai sesama jenis. Para kaum jetset memang tidak pernah memergokinya menggandeng seorang pria. Namun pria itu pun tidak pernah terlihat berkencan dengan wanita, karenanya mereka mengambil kesimpulan jika Largo memiliki orientasi seksual menyimpang.

Dan Largo tidak peduli. Selama kehidupannya tenang maka ia akan menerima gosip apa pun yang menerjangnya.

"Mereka terlalu pemalu?"

Largo tertawa renyah. Ia menatap Tuan Scott penuh arti. "Mereka hanya berpura-pura lugu," katanya dengan ekspresi dingin. Tuan Scott tahu jika perbincangan mereka tentang wanita telah selesai. Pria tua itu menghela napas pasrah. Keduanya kembali terdiam, berusaha menikmati dentingan suara piano yang mengalun lembut dan sangat cocok untuk mengiringi dansa romantis.

Lagi-lagi Largo merasa muak. Dia ingin pergi dari tempat ini secepatnya saat mengenali seorang wanita paruh baya yang dikenalnya dengan baik. Tanpa pikir panjang ia pun pamit pergi. Largo perlu keluar dari dalam ballroom mewah ini agar emosinya tetap stabil.

Dengan menggunakan helicopter pribadi, perlu waktu lebih dari satu jam untuk Largo kembali ke kediamannya di bagian utara Kota Edinburg. Mansion keluarga Walcott sudah berdiri selama beberapa abad. Bangunan itu masih berdiri megah, terbuat dari batu bata berbentuk dinding dan terdiri dari empat lantai, dengan sayap kiri dan kanan yang membuatnya terlihat memesona.

"Tuan Sam tadi sore datang mencari Anda, Tuan Walcott," kata John saat Largo berjalan memasuki ruang tamu kediamannya. Seorang buttler tua menghampirinya, lalu menerima jas panjang milik Largo untuk disimpannya.

"Apa dia meninggalkan sesuatu?" tanya Largo tanpa ekspresi.

"Tuan Sam meletakkan sebuah dokumen di ruang kerja Anda," terangnya.

Largo hanya mengangguk pelan. Tanpa kata ia berjalan meninggalkan John yang kembali berjaga untuk mengerjakan tugasnya. Largo berjalan tergesa, naik ke lantai dua dimana ruang kerjanya berada.

Largo membuka pintu ruang kerjanya dan beralih pada meja kerjanya. Dengan tidak sabar dia segera membuka sebuah amplop cokelat yang diletakkan di atas meja kerjanya.

"Sam, apa kau yakin ini dia?" Largo segera menghubungi Sam yang bekerja dan menjadi kepercayaannya selama ini. "Dia di Chicago?" tanyanya lagi saat suara yang berada di ujung sambungan meyakinkannya jika wanita yang berada di foto itu adalah benar wanita yang dicari oleh Largo selama ini.

"School of the Art Institute," gumam Largo. Pria itu menjeda. Ekspresinya terlihat sangat serius. "Sam, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku," katanya masih dengan nada serius yang sama. "Kau akan menjadi salah satu di universitas itu, dan pastikan Helena mendapatkan beasiswa penuh hingga dia lulus. Apa kau mengerti?"

Keheningan meraja untuk beberapa saat.

"Tidak," kata Largo kemudian. Dia berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya. "Tidak ada yang boleh tahu jika Walcott menjadi salah satu donator di universitas itu," tegasnya. "Aku menunggu laporan darimu," sambungnya sebelum menutup sambungan telepon.

Largo menelan kering. Kedua matanya terpejam untuk beberapa saat. Ia menoleh, menatap beberapa lembar foto yang tergeletak di atas meja. Akhirnya dia menemukan adiknya. Adik perempuannya. Ada perasaan lega dan was-was yang menyelimutinya saat ini. Largo ingin menemui adiknya, tapi ia tahu jika sekarang bukan saat yang tepat untuk itu.

Pria itu pun beralih pada laptopnya. Ia membuka email dan membaca sebuah laporan lain yang masuk dari Sam. Largo mengetuk-ngetukkan jemarinya sementara kedua netranya menatap lurus foto seorang wanita berambut hitam legam dengan bola mata berwarna abu.

Abhigail Brown.

Mantan tentara Amerika.

Menarik, pikir Largo. Malam ini, sekali lagi ia menghubungi Sam.

"Abhigail Brown," kata Largo datar. "Aku ingin menemuinya di kantorku besok siang," katanya sebelum menutup sambungan telepon itu untuk kedua kalinya.

.

.

.

TBC

Largo - Walcott Series #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang