Sudah tiga minggu aku tinggal dirumah Nenek. Banyak yang menarik perhatianku termasuk sebuah pohon. Pohon didepan rumah ini tumbuh diantara rerumputan. Berdiri sendiri diantara ilalang yang tidak terlalu tinggi. Nenek bilang, itu pohon angsana.
Pohon itu besar dan katanya sekali waktu berbunga lebat. Bunganya yang berjatuhan tidak jarang sampai membuat halaman rumah Nenek kotor. Nenek bilang tidak pernah menanam pohon itu, begitupun Kakek. Kata beliau pohon itu sudah ada bahkan sejak pertama kali mereka datang kerumah ini.
Hamparan rerumput itu membuat tidak sedikit anak-anak kecil yang duduk beralaskan rumput disana. Hampir setiap hari. Mereka membawa makanan, buah atau apapun untuk dimakan bersama disana. Salah seorang anak diantar mereka sering mampir kerumah mengantar jajanan yang dititipak ibunya untuk Nenek.
Anak – anak itu tidak sendiri, ada seorang pria dengan potongan rambut gondrong yang berusia sepantaran denganku. Dengan pria itulah mereka seperti membuat les privat. Di tempat seluas itu, aku bisa mendengar suara bincang - bincang, bahkan gelak tawa mereka yang cukup nyaring sampai kamarku yang letaknya paling depan.
Hampir setiap hari jugalah, Nenek menyuruhku ikut bercengkrama dengan mereka. Tapi siapalah pula yang mau? Aku kan tidak mengenal mereka.
"Nessa, seperti yang Nenek bilang tadi malam, Nenek sama Kakek mau ke kota, mungkin juga nginep semalam di gudang untuk memantau hasil panen yang akan di kirim ke luar, kamu jangan nerima tamu kalau nggak kenal betul wajahnya, hati – hati dirumah ya," nenekku itu sudah rapi dengan setelan hijau lumut dan sanggul kepalanya yang nyaris sempurna.
Mesin mobil sudah menyala, Kakekku sudah pasti disana. Setelah mencium tangan Nenek, dan tanpa menyium tangan Kakek, beliau sekalian berangkat ke kota. Tinggalah aku. Dirumah tua yang bernuansa coklat ini. sendirian. Tanpa siapapun.
Masih terlalu sore untuk masak makan malam. Ah lagipula aku tidak terlalu jago memasak. Yang ada dapur akan tambah kotor. Di kota hidupku terlampau enak sampai aku disuruh Ibu dan Ayah untuk tinggal di rumah orangtua Ibu. Supaya mandiri katanya.
Setidak–tidaknya aku masih bisa mengerjakan pekerjaan rumah; menyiram tumbuhan.
Dihalaman rumah Nenek terdapat banyak sekali tumbuhan sampai kadang aku khawatir mereka tidak kusiram merata. Aku suka sekali tumbuhan jadi aku suka sekali dengan halaman Nenek. Nenekku itu suka sekali bercocok tanam baik bunga atau bahkan sayur mayur dihalaman depan, dan beberapa di halaman belakang, yang sedikit banyak membuatku tambah menyukai kegiatan ini. Sebab itulah aku sempat heran, apa benar Nenek bukanlah orang yang menanam angsana yang indah itu? Tapi nyatanya memang bukan.
Aku masih menyiram tanaman. Berusaha mencapai sisi lain dari tanaman – tanaman Nenek yang belum tersiram, tapi apa ini? selangku menyangkut. Ugh, ayolah. Tanganku berusaha menarik selang biru itu agar bisa menjangkau tanaman Nenek yang belum tersiram air. Selang ini menyangkut apa bagaimana sih? Kenapa tidak seperti biasanya?
Dalam hitungan kurang dari semenit, selang itu berhasil kutarik—beserta kran yang menyangkut dimulut selangku. Air dari lubang bekas kran akhirnya muncrat kemana – mana. Menyembur. Astaga aku ini benar – benar bodoh.
Aku menjerit, bingung harus melakukan apa karena air itu sekarang membasahi tubuhku. Belum sehari Nenek dan Kakek pergi ke kota tapi aku sudah membuat keributan.
Tiba – tiba, sebuah tangan yang cukup besar mampu membuat lubang air itu dalam satu tangannya saja. Tubuhnya juga sudah basah saat ia berlutut disampingku, ia menoleh padaku, dan aku menatapnya, "cepat matikan saluran airmu," kata pria itu.
YOU ARE READING
ANGSANA DIDEPAN RUMAH NENEK
Short StoryRindangnya angsana menyiratkan sebuah rasa padamu