Mengubur Mimpi

27 1 1
                                    

Dulu, waktu usiaku 7 tahun aku bermimpi menjadi 'pemain' bulu tangkis. Begitulah yang ku umbar dihadapan guru dan teman sekelas saat pelajaran mengenal cita. Dan yang kudapat adalah tawa cemoohan dari semua tanpa pembelaan dari guru itu. Mereka bilang itu bukanlah cita-cita, hanya hobi belaka. Aku terdiam.

Setelah giliranku, satu persatu mereka menyebutkan impiannya. Ada yang bilang suatu saat ingin jadi polisi, guru, pilot, dan dokter. Dari 30 siswa, hanya 1 orang yang tidak menyebut salahsatu dari empat profesi itu. Ya, aku.

Aku berpikir keras mungkin mereka benar, baiklah pilot saja.

Ini diskriminasi mimpiku yang pertama.

Setelahnya, mimpiku berubah-ubah, suatu saat ingin jadi tentara, penembak jitu, astronot dan lain-lain. Semuanya berubah-ubah, wajar aku masih belia.

Saat aku beranjak remaja, waktu SMP kira-kira, aku bermimpi menjadi seorang pelukis. Hal pertama yang ku gambar adalah sebuah manga, mungkin naruto atau apalah aku lupa. Kemudian berturut-turut ke gambar dorami hingga sketsa wajah manusia yang yah masih ala anak-anak. Ku tunjukkan gambar itu ke satu orang teman sebangku, ia memuji. Berkat itu aku merasa percaya diri dan mulai berfokus pada menggambar wajah.

Pada suatu hari ku perlihatkan sebuah karyaku pada ibuku. Beliau sering melihatku menggambar tanpa berkomentar, tapi saat itu aku ingin mendengar pujiannya.
"Gambar jelek apa ini." Begitulah ucapnya.
Seketika runtuh sudah singasana dalam hatiku, aku menahan tangis, tak mau menangis. Ku pandangi lagi gambarku, jelek!, mungkin ibuku benar.

Diskriminasi mimpiku yang kedua.

Masa puberpun datang, aku mulai mendengar banyak lagu, menonton banyak film. Terbesit keinginan untuk menjadi aktris. Akupun memulai dengan menyanyi, tapi tak pernah di depan orang lain. Sebenarnya kegemaran bernyanyi sudah kumulai semenjak SD. Suaraku bagus, puji kakakku. Di masa SMA aku mulai bernyanyi dengan lantang, dirumah tepatnya. Hingga kakakku berkata "suaramu jelek".

Minder, penuh keraguan, tidak percaya diri menjadikan aku sosok yang pendiam, tak pandai bersosialisasi, mudah gugup, banyak takut, tak mampu mengambil keputusan. Aku merasa hidup sendirian. Perasaan itu ada hingga aku kuliah. Aku selalu mengekori orang yang kuanggap layak diekori, sulit berkata tidak, mudah dibodohi dan dibohongi, lemah fisik maupun mental. Prestasiku nihil. Terlalu nyaman di zona aman. Banyak yang ingin ku raih dan lebih banyak lagi tembok penghalang. Hingga saat ku luluspun tak tahu mau kemana.

Sekarang, aku sudah menikah. Dijodohkan. Yang terpaksa kuterima karena desakan lantaran hidupku yang luntanglantung dan usiaku yang makin bertambah. Kalau hanya itu alasannya bisa saja kutolak perjodohan itu, tapi aku tak sanggup melihat rengekan ibuku yang beralih peran sebagai kepala keluarga sejak ayahku meninggal 7 tahun lalu.

Sampai detik ini aku tak mengenal kata bahagia. Terlalu asing. Baiklah, ku jalani saja kehidupan palsu tanpa cinta yang tlah lama pupus dan mustahil itu. Mungkin ini akhirnya.

Berakhir?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang