Minggu pagi menjelang siang, ayah Nabila sedang santai menonton televisi sambil nyemil buah naga. Sementara Nabila tengah beberes rumah. Setelah lamaran usai seminggu yang lalu, para om dan tante Nabila sudah kembali ke rumah masing-masing. Tapi tidak untuk beberapa ponakan maupun sepupu mudanya. Mereka masih menginap disini, membuat rumah nampak lebih ramai daripada biasanya, dan baru saja pulang kemarin jumat.
Kini rumah kembali sepi, Nabila mendadak sudah kangen saja dengan sepupunya. Dulu waktu masih ada ibu, rumah tak sesepi ini.
"Ngaahh...ngaaahh..." suara ayah memecah lamunan Nabila. Gadis itu berhenti sejenak dari melipat baju bersih. Sang ayah menunjuk kepada ponselnya yang bergetar di meja. Ternyata ada telpon.
"Halo, assalamualaikum." sapa Nabila begitu melihat gerangan siapa yang menelponnya sepagi ini.
"Waalaikumsalam. Nabila, sibuk nggak?" seru nyonya Miranda bersemangat.
"Enggak sih, tante. Cuman beres-beres aja. Ada apa, tante?"
"Tante lagi di jalan nih mau deket ke rumah kamu. Lima belas menitan sampai ya."
"Loh, loh. Ngapain, tante? Kok tiba-tiba?" tanya Nabila kebingungan. Tante Miranda ini tidak ada janji apapun dengan Nabila sebelumnya, mendadak main samper.
"Mau minta temenin tante ke suatu tempat. Rekomendasi pernikahan gitu. Ya, Nab? Udah dulu, tante lagi nyetir nih. Siap-siap gih sayang. See you." dan sambungan telpon putus sepihak. Meninggalkan Nabila yang terbengong.
"Ayah, ibunya mas Bram mau kesini. Katanya...mau ngajak aku ke suatu tempat." ucap Nabila tanpa sadar. Ayahnya menoleh enerjik, tersenyum dan memberi gerakan mengusir lewat tangannya.
"Boleh nih?"
"Ngaaahh..hsss..hsss..." kata ayah lagi kembali mengusir.
"Nanti ayah sendirian lagi dong.."
Ayah mengangkat remote tv dan menunjukkannya pada Nabila. Lalu beralih pada itab Nabila dan menekannya. Langsung muncul permainan papan catur di dalam layar tersebut. Nabila mendengus. Memang sih ayahnya gemar main catur di itab, tapi Nabila ngerasa tidak enak saja ayah sering ditinggal hanya karena urusan pribadi Nabila.
Omong-omong soal pernikahan, Nabila juga masih cari-cari vendor yang bagus, kalau bisa yang harganya miring juga. Dan pernikahan tinggal tiga bulan lagi. Lalu Bram sedang keluar kota.
"Nggak sampai malem ya, ayah. Nanti Nabila siapin makannya kaya biasa."
Dan ayah menunjukkan tanda ok dengan tangannya.
***
"Hmm...kok tante kurang sreg ya." erang nyonya Miranda membaca katalog beberapa vendor yang keduanya datangi. Nabila mengerutkan kening. Ini harganya sudah cukup murah untuk pernikahan yang sederhana, tapi ternyata ada silang pendapat dari mertuanya.
"Iya ya, tante?"
"Tante usul ya, Nab. Karena nikahmu waktunya singkat, gimana kalau kita serahin sama WO aja? Biar mereka cariin kita yang bagus. Sesuai budget, kita tinggal terima jadi. Nggak repot. Mana Bram juga nggak ada disini lagi." kata nyonya Miranda menyesap kopinya.
"Kalau WO, bukannya...lebih mahal ya, tan?" pertanyaan retoris namun melembut itu membuat nyonya Miranda tertegun. Diletakkannya cangkir kopinya dan memandang teduh pada calon menantunya yang lugu sekali itu.
"Kamu...berat sama biayanya ya?"
Nabila tidak mengangguk. Juga tidak menggeleng. Dia hanya terdiam dan menunduk. Sampai nyonya Miranda harus memegang tangannya untuk menarik perhatian Nabila.

KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECTLY IMPERFECT
RomanceSummary Ketika sang Mama sudah mendesak beberapa kali supaya Bram segera membawa calon istri, Bram harus kebingungan mencari wanita yang benar-benar nyata untuk dijadikan pendamping hidup lelaki itu sekali seumur hidup. Ia harus melihat bibit, bebet...